Dua Hal Paling Berkesan di Kediaman Anies Baswedan

Sunday, April 21, 2019


Desember, 2014. Saat itu Bapak Anies Baswedan belum lama dilantik menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Sedangkan saya dan suami, tengah sibuk mengurus pernikahan kami yang akan tiba dalam hitungan minggu.

Kami berdua, dengan mengendarai motor Supra, bolak-balik di suatu komplek perumahan di daerah Lebak Bulus, Jakarta Pusat. Mencari-cari kediaman sang Menteri. Tujuannya sederhana, ingin memberikan undangan pernikahan sekaligus bersilaturahmi. Walaupun kami tau, kedua rencana ini belum tentu akan terlaksana.

***

Sebagai bagian dari Pengajar Muda di Gerakan Indonesia Mengajar, tentunya suami saya sudah cukup mengenal sosok Anies Baswedan selaku founder gerakan tersebut. Tidak jarang petuah-petuahnya mempengaruhi cara berpikir suami. Contohnya dalam memilih karier. Beliau menyarankan untuk selalu mempertimbangkan tiga kriteria utama: intellectually growing, financially strong dan socially impactful. Yang intinya, setiap pekerjaan yang kita lakukan hendaknya mampu membuat kita tumbuh secara intelektual, kuat secara finansial dan memberikan dampak positif kepada masyarakat.

Dan percaya atau tidak, sampai sekarang suami saya akan selalu menggunakan ketiga prinsip ini setiap kali memilih pekerjaan.

Sosok Anies Baswedan, memang sudah seperti Ayah kedua bagi para Pengajar Muda. Maka tidak afdol rasanya jika tidak mengundang beliau pada pesta pernikahan. Menurut suami, Pak Anies dan istri biasanya akan menyempatkan datang jika memang tidak ada aral melintang. Mereka juga sudah pernah hadir ke beberapa pernikahan pengajar muda yang lain.

***

Akhirnya motor kami tiba di suatu rumah berpagar putih. Dengan ragu-ragu, saya dan suami mengucapkan salam dan mengutarakan maksud serta tujuan kami. Sayangnya, kami salah alamat.

“Ini bukan rumah Pak Anies mas. Masa rumah Pak Anies begini,” kata suara di balik pagar, merendah. Si empunya rumah pun memberikan arah ke rumah Pak Anies yang sebenarnya. Suami agak bingung. Karena berdasarkan kunjungan pertamanya dulu, seingatnya, rumah Pak Anies ya mirip seperti rumah yang barusan itu.

Setelah berputar-putar, akhirnya kami tiba di rumah beliau. Kediamannya agak masuk ke dalam jalan kecil yang sedikit berlubang-lubang. Posisinya agak ke kampung. Biarpun lokasinya kurang strategis, tetapi arsitektur rumahnya sangat mencolok perhatian.

Ternyata ini merupakan rumah Pak Anies yang baru. Kediamannya terletak di atas tanah berkontur alias tidak rata. Oleh sebab itu, bentuknya menjadi sangat unik. Bagian atas yang tanahnya rata dengan jalan, dibangun rumah joglo tradisional yang besar. Kontras dengan rumah disekitarnya. Pencahayaanya sangat cantik (saya datang malam hari). Sekelilingnya dihiasi rumput-rumput yang rapih, mengingatkan saya akan bukit di serial teletubbies. Rumah joglo dan halaman ini tidak berpagar. Rasanya saya tidak sedang berada di kota Jakarta, melainkan di sebuah resort yang asri.

Yang menarik, saat kami ke sana, terlihat rombongan bocah memakai baju koko sedang mengaji. Ada pula yang berlari-lari, seolah di rumah sendiri. Ternyata, mereka adalah anak-anak warga setempat.

Rumah joglo Pak Anies ini memang didedikasikan untuk menjadi semacam ruang komunal bagi masyarakat sekitar. Konon saat masih berwujud tanah kosong, kawasan ini sering digunakan sebagai tempat bermain bocah-bocah kampung. Oleh sebab itu, saat rumah sudah dibangun, Pak Anies dan instrinya ingin agar fungsi tersebut tetap hidup.

Btw, saya ambil foto-foto rumah ini dari internet. Bisa dibilang, gambarnya tidak representatif. Rumah aslinya jauh lebih baguuuuus.


***

Dari depan jalan, rumah ini seolah hanya memiliki satu lantai saja yang terdiri dari si Joglo tadi. Padahal sebetulnya terdiri dari dua lantai. Hanya saja pertumbuhannya bukan ke atas, tapi ke bawah.

Di pojok kiri rumah, ada jalan menurun yang ditutupi pagar. Jalan menurun ini membawa kami ke sebuah ruangan di bawah joglo tadi. Seolah-olah kami sedang menuju basement, tapi tidak pengap. Letak tanah yang berkontur memungkinkan lantai bawah ini memiliki pintu belakang sebagai akses menuju taman yang sangat luas. Ya, total lahan di tengah kota ini sekitar 1 hektar.


Jika rumah joglo tadi merupakan area publik, maka lantai bawah ini merupakan ranah privat keluarga Baswedan. Tamu yang ingin masuk harus berhadapan dengan pihak keamanan terlebih dahulu.

***

Di tempat pribadi ini, Ibu Fery Haryati, istri dari Pak Anies sudah menyambut kami. Awalnya saya kikuk, karena tidak kenal, lalu kucluk-kucluk datang. Tapi sikap beliau sebagai tuan rumah yang hangat langsung mencairkan suasana. Sedangkan Pak Anies sendiri, saat itu belum tiba di rumah.

Setelah beramah-tamah sebentar, kami menyerahkan sepucuk undangan sederhana yang saya desain sendiri. Beliau membacanya, kemudian meminta maaf karena tidak dapat hadir di resepsi pernikahan kami, yang mana sudah kami maklumi sejak awal.

“Kami sekeluarga mau ke Kinabalu,” katanya.

***

Percakapan pun terus bergulir, lebih panjang dari yang kami rencanakan. Tapi yang paling saya ingat, Bu Fery sangat bersemangat ketika suami saya bercerita bahwa ia sedang berikhtiar untuk melanjutkan pendidikan ke Amerika Serikat. Hanya orang-orang yang pernah berkuliah di sana saja yang tau betapa sulitnya mendapat offer letter dari kampus, menembus tes GRE dsb. Bu Fery sangat paham dengan perjuangan kami. Mungkin karena dulu, Pak Anies juga pernah kuliah di negeri Paman Sam melalui jalur beasiswa Fulbright.

Sampai akhirnya, sambil sedikit bernostalgia, Bu Fery bercerita mengenai kehidupan pribadinya dengan Pak Anies selama di Amerika Serikat dulu. Dari ceritanya pula, saya tau kalau ternyata tak semua anaknya lahir di Amerika Serikat. Tapi ia tidak menjelaskan alasannya.

Belakangan, ketika membaca autobiografi Anies Baswedan, saya menemukan fakta bahwa kala itu Bu Fery mengalami mual-muntah hebat selama hamil. Kondisinya pun menjadi sangat lemah. Oleh sebab itu, beliau terpaksa pulang ke Indonesia dan berpisah dengan Pak Anies untuk sementara waktu sampai setelah masa persalinan (Btw, I can 100% relate to her story because I always face difficult pregnancy).

***

Hari sudah semakin malam. Kami pun berpamitan. Banyak doa-doa baik yang terpanjat dari mulut But Fery kepada kami kala itu. Beliau tidak hanya mendoakan kelancaran rencana pernikahan kami, tetapi juga untuk semua rencana kami ke depan, termasuk untuk urusan pendidikan.

Ada dua hal yang paling berkesan bagi saya dari kunjungan ini. Pertama yaitu rumsh joglo di lantai atas beserta filosofi dan fungsinya. Kedua, yaitu sosok ibu Fery itu sendiri. Hanya kesan baik yang saya dapatkan dari pertemuan singkat ini. Namun saya bisa memahami kenapa Pak Anies selalu menyebut dan memuji istrinya di berbagai kesempatan, termasuk kepada media.

Sebelum beranjak dari kursinya, tiba-tiba Bu Fery memberikan nomor whatsapp pribadinya tanpa saya minta. “Tolong kabarin saya kalau kalian jadi berangkat ke Amerika ya,” katanya. Saya mengangguk kaget. Pasalnya, saya tidak menyangka kalau beliau akan sepeduli ini. Memangnya kami siapanya beliau?

“Betul kabarin ya,” lanjutnya lagi. Seolah betul-betul ingin mengetahui progress kami nantinya.

***

Selang beberapa bulan dari pertemuan tersebut, kami mendapat kabar baik. Saya dan suami akan berangkat ke Amerika Serikat. Sepenggal pesan singkat saya ketik untuk Bu Fery, melunasi janji yang dibuat di rumahnya dulu.

Tak menunggu lama, balasan datang:

“Alhamdulillah, selamat untuk kalian berdua. Saya ikut senang. Semoga pengalaman bersama di Amerika Serikat nanti dapat menjadi pondasi yang kuat untuk keluarga kalian”.

Dan saya pun mengamini setiap kalimat beliau.

You Might Also Like

0 comments

MY SCIENCE EDUCATION WEBSITE

A Member of

A Member of

Komunitas