Pengelolaan Sampah di Amerika Serikat: Tantangan dan Solusi yang Ada

Sunday, May 01, 2022

Pengelolaan Sampah di Amerika Serikat

Setiap negara pasti memiliki masalah sampah, tidak terkecuali dengan negara adidaya Amerika Serikat (AS). Namun, tantangan mengenai persampahan di sini sangat berbeda dengan di negara kita.

Kemakmuran negeri Paman Sam memicu lahirnya konsumerisme serta gaya hidup konsumtif di kalangan masyarakatnya. Tak jarang, berbagai macam benda dengan kondisi masih sangat baik malah tergeletak begitu saja di dumpster atau tempat pembuangan sampah. Barang-barang yang seharusnya bisa digunakan dalam jangka waktu yang panjang, terpaksa dilengserkan demi membeli produk-produk terbaru. Microwave, oven, penyedot debu, kasur dan sofa, adalah benda-benda yang mudah ditemui di tempat sampah milik warga Amerika.

Pengamatan saya ini didukung oleh data dari EPA (United States Environmental Protection Agency). Tahun 2017 saja, terdapat sebanyak 267.8 juta ton sampah dihasilkan di AS. Data ini hanya meliputi Municipal Solid Waste atau sampah sehari-hari (sampah dapur, sampah halaman/kebun, perabot, kemasan sisa konsumsi, sampah elektronik), belum termasuk sampah industri, sampah medis, sisa konstruksi, dsb.

Walaupun menghadapi berbagai tantangan, AS terus bekerja keras untuk mengelola sampah-sampahnya. Banyak upaya dilakukan oleh berbagai pihak, baik pemerintah, Lembaga Swadaya Masyarakat, hingga warga biasa.

***

Tidak seperti di negara kita, di AS jarang sekali ditemukan sampah berserakan. Masyarakat sudah terbiasa untuk membuang sampah pada tempatnya. Tetapi masalah lingkungan tentunya belum selesai. Membuang sampah pada tempatnya saja tidak cukup. Menghilangkan sampah dari pandangan mata, bukan berarti sampah tersebut hilang. Sampah tetap akan berakhir di Tempat Pembuangan Sampah Akhir (TPSA). Inilah yang menjadi perhatian pemerintah Amerika Serikat dalam pengelolaan sampah saat ini.

Bisa dibilang, solusi terbaik dan paling disukai oleh pemerintah AS adalah mengurangi sampah dari sumbernya. Beragam cara ditempuh. Yang paling utama adalah menyediakan sebanyak-banyaknya materi edukasi kepada masyarakat. Kalau kita berselancar ke laman web EPA, kita bisa menemukan berbagai informasi dan panduan yang sangat lengkap tentang cara mengurangi sampah untuk berbagai kalangan. Ingin mendirikan penginapan minim sampah? Tenang, ada panduannya. Ingin mengelola restoran yang lebih ramah lingkungan? Ada informasinya. Bahkan panduan untuk mengurangi sampah di pusat perbelanjaan pun dapat diunduh dengan mudah.

Panduan untuk mengurangi sampah di pusat perbelanjaan

Selain materi edukasi, sejumlah aksi nyata juga telah diterapkan. Beberapa wilayah di AS kini sudah melakukan program Pay As You Throw. Seperti di San Jose dan Mount Vermont. Dalam program ini, masyarakat akan dikenakan biaya pengelolaan sampah bergantung kepada banyaknya jumlah sampah yang dihasilkan. Semakin sering nyampah, semakin mahal!

Terdapat hampir 9000 komunitas di berbagai negara bagian yang telah menjalankan program ini. Berdasarkan laporan yang dikeluarkan oleh EPA, program Pay As You Pay terbukti sukses mengurangi jumlah sampah yang dihasilkan.

Kota-kota besar di AS juga mulai mengambil langkah besar untuk mengurangi jumlah penggunaan plastik sekali pakai. New York misalnya, akan melarang penggunaan botol air minum dalam kemasan,

Di beberapa negara bagian (setingkat propinsi) seperti California, Hawaii, Connecticut dan Oregon, larangan menggunakan kantong plastik juga telah dijalankan. Pada tahun 2019, California juga bahkan telah menandatangani peraturan untuk melarang penggunaan wadah plastik untuk shampo dan sabun di hotel-hotel. Sebuah langkah yang sangat inovatif dan bijak, kan!

Di kota Columbus, tempat saya tinggal, terdapat kegiatan backyard composting (mengompos dari halaman rumah) yang bertujuan untuk mengurangi jumlah sampah organik rumah tangga yang dikirimkan ke Tempat Pembuangan Sampah Akhir (TPSA). Programnya berupa kampanye dan kelas gratis mengenai serba-serbi mengompos. Di akhir kelas, peserta yang lulus ujian tertulis akan diberikan kupon sebesar $50, yang dapat digunakan untuk membeli tabung komposter di toko online maupun offline.
program community backyard dari kota Columbus. Warga akan mendapatkan diskon $50 untuk pembelian tabung komposter 
Daur Ulang dan Membuat Kompos
Program daur ulang dan pembuatan kompos di Amerika berbeda-beda mengikut wilayah. Namun di tingkat nasional, sebanyak 67.2 juta ton sampah berhasil di daur ulang pada tahun 2017 lalu, dan sekitar 27 juta ton sampah organik diolah menjadi kompos.

Salah satu kota yang disebut-sebut mampu menjalankan program daur ulang dan pengolahan kompos dengan baik yaitu kota San Francisco. Untuk memudahkan masyarakat memilah sampah, pemerintah kota San Francisco melakukan kampanye “Fantastic Three”. Sampah di sana di pilah ke dalam tiga wadah dengan tiga warna berbeda. Warna biru untuk semua material daur ulang, hijau untuk sisa organik, dan hitam untuk sampah yang dikirim ke TPSA.

Program edukasi sampah di kota ini tidak tanggung-tanggung. Dilakukan dari pintu ke pintu. Sejak tahun 2019, bahkan telah dijalankan audit sampah kepada setidaknya 400 bangunan yang menghasilkan sampah dalam jumlah besar. Mereka akan menjalani audit setiap tiga tahun sekali. Petugas akan menginspeksi dan mendokumentasikan temuannya. Jika pemilahan sudah tepat, maka bangunan tersebut akan mendapat lampu hijau. Kontaminasi (kesalahan dalam memilah) dalam jumlah tertentu masih ditoleransi. Namun jika ditemukan sampah elektronik dan sampah berbahaya, maka audit langsung dinyatakan gagal. Pemilik properti wajib mempekerjakan seorang zero waste fasilitator (orang yang sudah memiliki kualifikasi untuk membantu pemilik properti mengelola sampahnya dengan tepat).

Di kota saya sendiri, daur ulang juga sangat digalakkan. Tempat sampah khusus material daur ulang diberikan secara gratis kepada setiap pemilik properti. Di laman website pun disediakan beragam informasi tentang beragam material sampah dan bagaimana cara mengelolanya.

Di samping itu, terdapat layanan khusus untuk mengangkut sampah kebun/halaman yang juga diberikan secara cuma-cuma. Oleh pemerintah setempat, sampah-sampah ini lalu dikelola menjadi pupuk dan mulsa, kemudian dijual kembali kepada masyarakat.
Layanan pengangkutan sampah kebun dari pemerintah kota Columbus yang diberikan secara cuma-cuma. Sampah akan di kompos, dan hasilnya akan dijual kembali kepada masyarakat.
Sekali Mendayung, Dua Tiga Pulau Terlampaui
Selain solusi dari pemerintah, terdapat juga beragam solusi kreatif yang dimotori oleh masyarakat. Bukan cuma mengurangi sampah dari sumber, tetapi juga bisa sekaligus beramal. Apa saja?

Thrift Store (Toko Barang Bekas Layak Pakai Sekaligus Lembaga Amal)
Punya barang bekas layak pakai tapi bingung mau diberikan kepada siapa? Tenang, Thrift Store bisa menampungnya. Tidak seperti toko barang bekas di Indonesia, barang-barang yang dijual di Thrift Store merupakan barang bekas hasil dari donasi masyarakat. Hampir semua benda yang ada di rumah bisa disalurkan ke sini. Mulai dari pakaian, barang elektronik, sepatu, buku, mainan anak, hingga perlengkapan dapur.

Goodwill, salah satu tempat untuk mendonasikan dan membeli barang-barang bekas di Amerika Serikat.

Oleh Thrift Store, barang-barang yang telah dihibahkan tersebut akan dijual kembali ke warga setempat dengan harga super miring. Kita bahkan bisa menemukan buku atau mainan anak dalam kondisi sangat baik dengan harga tidak sampai satu dolar.

Nantinya, keuntungan dari penjualan akan dikembalikan lagi untuk amal. Setiap thrift store biasanya memiliki tujuan amal yang berbeda. Ada yang menggunakan profit tersebut untuk pengembangan komunitas, memberikan pelatihan kepada mereka yang kesulitan dalam mendapatkan pekerjaan, memberdayakan penyandang disabilitas dan golongan lanjut usia, menolong gelandangan serta anak terlantar, dsb.

Ada satu lagi yang membedakan Thrift Store dengan toko barang bekas di Indonesia. Di negara kita, biasanya barang bekas dijajakan dalam kondisi yang kurang teratur. Tokonya pun kurang nyaman. Seperti yang terdapat di Pasar Senen, Jakarta Pusat. Sehingga hanya orang-orang yang betul-betul ingin berhemat saja yang akan ke sana. Citra menggunakan barang bekas pun menjadi kurang baik, identik dengan orang yang memiliki keterbatasan finansial.

Etalase di thrift store
Sedangkan di Thrift Store, tokonya sangat luas (bisa lebih luas dari pada supermarket di Indonesia), dan relatif rapi. Semua barang ditata berdasarkan kelompoknya. Baju digantung dengan hanger sesuai jenisnya, sepatu diurutkan sesuai ukurannya, dsb. Masyarakat juga bisa kesana dengan nyaman, bahkan bagi penyandang disabilitas yang perlu menggunakan kursi roda untuk mobilitasnya.

Singkatnya, Thrift Store adalah sebuah kewirausahaan sosial. Sekali mendayung, dua, tiga, bahkan empat pulau terlampaui. Thrift Store membantu memperpanjang usia guna suatu barang, sehingga dapat mengurangi jumlah sampah yang dikirim ke TPSA. Selain itu, perusahaan ini juga menolong berbagai lapisan masyarakat. Tidak hanya mereka yang kurang beruntung saja, tetapi juga membantu masyarakat biasa agar dapat membeli beragam kebutuhannya dengan harga terjangkau.

Diestimasikan, Amerika Serikat merupakan rumah dari 25 ribu Thrift Store. Industri ini sangat besar, dengan total pendapatan sekitar 17 miliar dolar di tahun 2014. Goodwill dan Salvation Army merupakan contoh dari nama merek dagang yang menjadikan Thrift Store sebagai model usahanya.

Baju-baju yang dijual di thrift store, Amerika Serikat



Tukar Baju
Tidak ingin membeli baju bekas? Kita bahkan bisa mendapatkannya dengan gratis! Percaya atau tidak, dulu saya nyaris tidak pernah membelikan baju untuk balita saya. Enam bulan pertama, stock baju berasal dari hadiah teman-teman. Setelah pakaian tersebut sempit, saya pun berpartisipasi di program clothes swap (tukar baju) yang sering diadakan oleh komunitas di komplek perumahan saya.

Dalam program tersebut, para orangtua berkumpul untuk saling bertukar pakaian bayi. (Namun tidak melulu soal pakaian, banyak juga barang lain seperti buku dan mainan yang turut ditukarkan).

Tukar Baju. Sumber: https://www.fashionablyaustin.com/wp-content/uploads/2017/06/DSC_9809-768x513.jpg

Baju anak saya yang sudah kekecilan, saya berikan kepada keluarga lain. Sebagai gantinya, anak saya juga mendapatkan pakaian yang lebih besar dari para peserta yang hadir. Menyenangkan bukan? Hal ini terus berlanjut sampai anak saya berusia 2 tahun. Bayangkan, berapa banyak uang yang bisa saya hemat saat itu! Tidak ada lagi perasaan gelap mata ingin berbelanja berbagai kebutuhan bayi dengan alasan "sayang anak". Saya pun senang karena isi lemari jadi berkurang. Rumah jadi lebih mudah diatur dan dirapikan karena tidak banyak barang.

Selain menghemat uang dan membantu proses merapikan rumah, program clothes swap ini juga sangat menolong lingkungan. Tekstil adalah salah satu sampah yang sulit diolah dan sulit terurai (bukan cuma plastik ya!). Program tukar baju ini merupakan salah satu langkah untuk mengurangi sampah tekstil yang kita hasilkan.

Sepanjang yang saya tau, inisiatif tukar menukar ini tidak berhenti hanya pada baju anak saja. Banyak juga yang menyelenggarakan kegiatan barter buku, pakaian orang dewasa, sampai pakaian kerja.

Di negara kita, acara tukar baju ini sudah mulai diadopsi oleh beberapa komunitas. Seperti Zero Waste Indonesia misalnya, sudah memperkenalkan kegiatan ini sejak tahun 2019 kemarin. Sambutan yang diberikan oleh masyarakat juga sangat menggembirakan dan memacu munculnya kegiatan serupa dari kelompok masyarakat lain.

Food Bank
Makanan adalah salah satu hal yang paling sering disia-siakan di negara kita. Dari riset yang dilakukan oleh Barilla Center for Food & Nutrition pada tahun 2016 lalu, Indonesia menduduki peringkat ke-2 sebagai negara dengan jumlah food waste (makanan terbuang) terbanyak. Padahal, untuk memproduksi bahan pangan, kita menghabiskan sumber daya yang tidak sedikit.

Tumbuhan memerlukan air. Hewan ternak perlu ber ton-ton pakan. Nelayan perlu bahan bakar untuk melaut. Dengan banyaknya sumber daya yang digunakan agar makanan dapat sampai di atas piring, kita malah membuangnya dengan cepat.

Di Amerika Serikat, makanan terbuang juga merupakan fenomena yang kerap terjadi. Masalah ini direspon dengan didirikannya suatu Lembaga Swadaya Masyarakat yang bernama Food Bank. Organisasi ini telah berdiri sejak tahun 1967 dan terus berkembang sampai hari ini ke seluruh penjuru Amerika Serikat.

Food Bank menampung kelebihan makanan, kemudian menyalurkannya kembali ke masyarakat yang membutuhkan. Biasanya, surplus bahan pangan itu didapat berbagai pihak seperti petani, supermarket, pabrik makanan dan masyarakat biasa.

Petani di AS seringkali mengalami kesulitan menjual hasil panen yang tampilannya kurang menarik. Seperti bawang bombay yang ukurannya lebih kecil, atau wortel yang patah.

Begitupun dengan supermarket. Terkadang mereka memiliki standar kualitas yang ketat. Kemasan makanan yang sedikit rusak (penyok, basah, dsb) tidak dijajakan di etalase. Makanan yang masih beberapa bulan lagi kadaluarsa pun, biasanya sudah harus disingkirkan.

Makanan-makanan ini padahal masih sangat layak untuk dikonsumsi. Food Bank melihat bahwa bahan pangan ini bisa diselamatkan, sekaligus menjadi penyelamat bagi mereka yang kelaparan.

wortel dan bawang bombay yang imperfect (dinilai tidak sempurna), biasanya tidak laku di pasaran. 

Makanan dari Food Bank. Bentuknya tidak sempurna, tetapi masih sangat layak makan.
***
Amerika Serikat memang belum sempurna dalam mengelola sampahnya, dan masih banyak menghadapi tantangan. Tapi kira-kira, hal baik apa yang bisa kita pelajari dari mereka?

***

Sumber:

You Might Also Like

1 comments

  1. mampir ke sini setelah setor #1minggu1cerita. diminta memilih diantara lima yg dinominasikan. saya pilih yg ini. menarik judulnya. kapan menulis tentang pengelolaan sampah di Indonesia hehe... tentunya ada banyak cerita tuh. Kami menggunakan sampah dapur untuk kompos dan pupuk kebun bunga telang. Hayuk berkebun dan mengelola sampah. Salam dari Majenang.

    ReplyDelete

MY SCIENCE EDUCATION WEBSITE

A Member of

A Member of

Komunitas