Salju Abadi di Papua Mencair, Terus Kenapa?

Sunday, April 10, 2022


Saat saya masih kuliah di Malaysia, ada seorang dosen yang bertanya kepada para mahasiswa. 

“Apa yang negeri kita (Malaysia) tidak punya?”


Seorang kawan Melayu pun menjawab, “salji (salju)”. 


Dosen saya pun terdiam. Pertanyaannya tersebut seharusnya menjadi retorika pembuka untuk membangkitkan semangat kebangsaan di kelas Tamadun Melayu (Peradaban Melayu). Namun harus diakuinya, ternyata memang ada hal yang tidak bisa dimiliki oleh sebuah negara yang terletak di khatulistiwa.


Namun kala itu, hati saya malah bersorak bangga “Ah…Indonesia punya salju kok”. 


Yup, we literally have everything. Termasuk gletser (salju abadi) di pegunungan tropis.


Tapi tahun 2019 silam, saya mulai berkenalan dengan satu isu yang membuat hati saya menjerit: salju di pegunungan Jayawijaya akan mencair tidak lama lagi. Simbol kebanggaan bangsa kita sebentar lagi akan musnah. Diperkirakan seluruh lapisan es akan meleleh tak bersisa pada tahun 2025 mendatang.



***


Foto udara membuktikan kondisi memprihatinkan tersebut. Es abadi terlihat berkurang secara signifikan dari tahun ke tahun. Bongkahan es yang tadinya menyatu di dua puncak gunung, kini terbelah dan menjauh. Bukan hanya luasnya yang menciut, ketebalannya pun menyusut. Tahun 2010, ketebalannya masih 32 meter. Namun pada awal tahun 2021, sudah berkurang menjadi 8-10 meter saja.



Menghilangnya salju di puncak Jaya adalah sebuah masalah genting. Tapi masih banyak masyarakat yang belum mengetahui apa imbasnya bagi kehidupan mereka. Dipikirnya, ini hanya tentang salju yang akan lenyap. Tidak kurang, tidak lebih.


Ketika kantor berita CNN Indonesia mengunggah video eksklusif mengenai isu ini di kanal Youtube, beberapa netizen bahkan memberikan komentar seperti berikut:






Komentar-komentar ignorance alias menyepelekan seperti di atas walaupun hanya sebagian kecil saja, tapi cukup untuk membuat saya mengusap dada.


Dalam satu pelatihan menulis yang digawangi oleh Tempo Institute, disebutkan bahwa sebagian besar berita tentang perubahan iklim yang ada sekarang memang tidak bersinggungan langsung dengan pengalaman sehari-hari masyarakat. 


Data dan informasi hanya ditampilkan dalam bentuk grafik dan tabel, namun kontennya jarang yang relatable. Masyarakat jadi kesulitan menemukan kepentingan, urgensi dan relevansi dari isu tersebut. Komen-komen seperti di atas pun jadi tetap eksis dan kebagian panggung.



ALARM ALAM


Lalu, mengapa isu mencairnya es di Papua menjadi sangat penting? Apa ruginya bagi kita?


Bumi kita ternyata telah dilengkapi dengan indikator atau alarm alam untuk memberitahukan perubahan iklim. Es abadi atau gletser (Glacier dalam Bahasa Inggris) adalah salah satu indikator yang sangat sensitif untuk menyerukan hal tersebut. 


Selain di Papua, beberapa Gletser di wilayah tropis di belahan bumi lain sebetulnya juga sedang terancam keberadaannya. Di pegunungan Andes misalnya, mencairnya es raksasa tersebut memberikan pasokan air yang melimpah. Masyarakat bersuka-cita karena bisa menggunakannya untuk keperluan irigasi maupun kehidupan sehari-hari. Namun lambat laun, suplai tersebut akan berkurang drastis seiring dengan luasan es yang semakin sedikit. 


Di negara kita sendiri, mencairnya gletser di Papua berdampak kepada kehidupan suku asli. Mereka meyakini bahwa daerah di sekitar es abadi adalah tempat yang sakral. Hilangnya es akan menyakiti tradisi dan kepercayaan mereka.


Walau terkesan tidak memberikan konsekuensi langsung terhadap mayoritas rakyat Indonesia, sesungguhnya mencairnya es di pegunungan Jayawijaya merupakan pertanda nyata bahwa bumi kita sedang sakit. Gejala-gejalanya sudah terlihat. Sistem peringatan dini kita pun telah menyala, namun apakah kita masih akan menutup telinga?


Kita yang Terdampak


Jika bel peringatan perubahan iklim di bumi sudah berbunyi, apa saja dampak yang bisa kita alami? 


Nelayan adalah salah satu profesi yang paling terkena imbas perubahan iklim. Tidak perlu menunggu beberapa tahun lagi, sekarang pun mereka sudah kesulitan untuk mencari ikan karena cuaca ekstrem. 


Ilmu melaut yang mereka pelajari secara turun-temurun, buyar akibat perubahan iklim. Musim menjadi tidak ajeg dan sulit diprediksi.

 

Hal ini membuat hasil laut berkurang, begitu pula dengan pendapatan yang di bawa pulang. Tidak jarang, nelayan harus kembali ke rumah dalam kondisi memprihatinkan karena habis diterjang badai. Kecelakaan laut semakin mengintai. 


Pada tahun 2019 yang lalu saja, lebih dari seribu nelayan di Demak terpaksa berhenti melaut demi menghindari bahaya yang lebih besar. Sementara lebih dari dua ribu nelayan lainnya memilih untuk tetap menerjang ombak, walau dengan segala keterbatasan.


Perubahan iklim membuat suhu air laut menjadi lebih hangat dan pH air laut menurun. Menurunnya pH bermakna air laut menjadi semakin asam. Kondisi ini tidak ideal dan bisa mematikan terumbu karang, rumah bagi jutaan spesies laut.  


Seperti yang kita ketahui, terumbu karang adalah tempat ikan-ikan meletakkan telur dan membesarkan anak-anak mereka. Rusaknya terumbu karang bisa berakibat pada musnahnya keanekaragaman hayati di perairan. Rantai makanan pun menjadi kacau. Dan seperti efek domino, nelayan akan semakin sulit menangkap hasil laut. Jutaan manusia juga akan kesulitan mendapatkan sumber makanan.


Di masa depan, nelayan bahkan harus menghadapi tantangan yang lebih berat. Perahu tradisional harus diganti dengan kapal-kapal yang lebih besar dan kuat untuk menghadapi gelombang laut yang diprediksi akan semakin tinggi. Jika tidak, menangkap ikan di masa depan hanya tinggal angan-angan. 


Setali tiga uang dengan nelayan, petani juga sangat bergantung kepada alam untuk menentukan musim menanam, dan memutuskan tanaman apa saja yang cocok dengan musim tersebut. Perubahan iklim bisa menyebabkan kekeringan, atau malah curah hujan yang terlalu banyak. Kedua skenario tersebut sama-sama tidak menguntungkan. Hama dan penyakit juga lebih mudah menyerang pada suhu yang lebih hangat dan iklim yang basah. Kombinasi dari kondisi-kondisi di atas, beresiko menyebabkan gagal panen dan kerugian finansial. 



Ketidakadilan dalam Perubahan Iklim


Di awal merebaknya kasus Covid, ada kutipan yang viral di jagad maya “We are in the same storm, but not in the same boat. Some have yachts, some have canoes, and some are drowning” (Kita berada di badai yang sama, tapi di kapal yang berbeda. Sebagian memiliki kapal pesiar, sebagian memiliki kano, dan sebagian lainnya tenggelam).


Kutipan di atas juga berlaku dalam konteks perubahan iklim.


Mereka yang lemah akan merasakan dampak perubahan iklim paling parah. Baik itu individu, maupun negara. Sekalipun individu atau negara tersebut bukanlah menyumbang kepada perubahan iklim terbanyak.


Ketika gagal panen terus menerus dan hasil laut semakin sedikit, harga pangan dapat melambung tinggi. Masyarakat dengan pendapatan rendah akan semakin terlunta. Begitupun jika terjadi bencana alam, warga miskin akan lebih menderita karena umumnya rumah mereka mudah rusak.


Dalam konteks politik, negara berkembang juga akan kesulitan menghalau imbas perubahan iklim. Diperlukan modal yang besar untuk mendanai bencana kelaparan maupun bencana alam. Padahal masih banyak pos-pos pengeluaran yang harus dikeluarkan oleh negara untuk sektor-sektor lain yang penting bagi pembangunan, seperti pendidikan.


Negara maju, sekalipun tidak kebal terhadap dampak perubahan iklim, akan lebih mudah beradaptasi karena mereka memiliki banyak sumber daya. Walaupun sesungguhnya merekalah penyumbang perubahan iklim terbesar di dunia.


Bergerak!


Tidak ada abadi di dunia ini, termasuk sang salju abadi.


Tahun 2019, alarm perubahan iklim itu sudah berbunyi kepada saya. Keras sekali. Namun saat itu saya masih menutup telinga rapat-rapat.


Tahun berganti tahun. Saya pun mulai belajar tentang perubahan iklim. Perlahan, saya memahami bahwa mencairnya salju di Papua bukan cuma tentang hilangnya simbol kebanggaan bangsa. Namun ia adalah gejala yang harus segera direspon dengan bijak, jika kita tidak ingin mewariskan kemelut pada generasi mendatang.


Pelan-pelan, gaya hidup saya ubah, menjadi lebih responsif terhadap kebutuhan bumi. And you can do it too. Melalui gaya hidup minim sampah, mengompos, menghemat pemakaian listrik dan air, naik kendaraan umum dan hemat bensin, menanam pohon, mendidik anak mengenai wawasan lingkungan, dll. Easy peasy!


Baca juga:


Perjalanan Menuju Tobat Sampah (Mengapa Saya Belajar Zero waste)


Komposter 101 - Cara Membuat Komposter Lengkap untuk Pemula - Sederhana, Mudah dan Murah


Kreatif Mengelola Sampah dan Mendidik Anak dengan Ecobrick


Tidak ada kebaikan yang terlalu kecil. Saya yakin, skenario-skenario buruk yang mungkin terjadi di masa depan bisa dihindari, asalkan kita bergerak secara kolektif untuk bumi. 


Jadi, kapan kalian akan mulai berkontribusi?



***



Referensi


https://www.mongabay.co.id/2019/02/12/nelayan-dan-masyarakat-pesisir-terdampak-perubahan-iklim/


https://www.mongabay.co.id/2020/12/13/akibat-cuaca-buruk-nelayan-berhenti-melaut/


https://jagalaut.id/en/perubahan-iklim-memicu-kerusakan-terumbu-karang-di-indonesia/


https://www.mongabay.co.id/2019/05/13/ketika-pemutihan-karang-terjadi-lagi-di-lombok/


https://19january2017snapshot.epa.gov/climate-impacts/climate-impacts-agriculture-and-food-supply_.html


https://www.imperial.ac.uk/grantham/research/resources-and-pollution/water-security-and-flood-risk/glacier-melt-and-water-security/


https://www.abc.net.au/news/2020-12-04/indonesia-tropical-glacier-threatened-climate-change/12914584


https://unesdoc.unesco.org/ark:/48223/pf0000369431


https://www.youtube.com/watch?v=lM62yhdytgI&fbclid=IwAR1n3dBXYLCPm57TxTOxgba4j9ihen0Mnh7Of2OmHvDFrskunhKDyVOLldU


You Might Also Like

0 comments

MY SCIENCE EDUCATION WEBSITE

A Member of

A Member of

Komunitas