Meroketnya Harga Cabai dan Perubahan Iklim, Apa Hubungannya?

Monday, April 18, 2022


Harga cabai sering meroket, bahkan mengalahkan harga daging sapi! Kenapa?

Dari majalah Bobo, saya jadi tahu kalau “pedas” itu bukan rasa, melainkan hanya sebuah sensasi terbakar karena adanya rangsangan yang kuat di ujung lidah.

Kelompok rasa yang sebenarnya, ya cuma lima: manis, asam, asin, pahit dan umami.

Lucunya, orang Indonesia sangat keranjingan dengan sensasi pedas yang menyiksa mulut dan telinga ini (termasuk saya!). Makanan pedas jadi favorit sejuta umat. Cabai is life!

Tapi… sadar nggak sih, harga cabai sering banget naik? Balapan dengan harga daging sapi! Di kota saya, sekilonya pernah mencapai Rp. 120.0001. Kalau lagi mahal begini, jiwa Minang saya meronta. Tahan-tahan dulu lah masak sambalado, rendang, asam padeh, dkk.

Adik saya yang punya warung makan kecil-kecilan, lebih ngenes lagi. Kelihatan lesu setiap kali harga cabai melejit. “Tekor”, katanya. Modal yang harus dikeluarkan untuk membeli bahan baku jadi membengkak, padahal keuntungan yang diambil cuma sedikit. Mau naikan harga? Wah...bisa-bisa pelanggan malah cek warung sebelah.

Setali tiga uang, abang-abang ketoprak yang biasa keliling komplek juga jadi agak medit. Tidak menerima permintaan tambahan cabe rawit. Padahal, Bapak saya lebih suka bumbu kacang yang pedas menggigit.

“Cabe lagi mahal, Pak”, kata si abang membela diri. Ah, Bapak saya kadang-kadang memang tidak sensitip.

Hmm…ternyata semua orang jadi repot ya kalau harga cabai naik.

Kira-kira, kenapa sih masalah ini bisa terjadi?

PATAH HATI PARA PETANI
Sebelum masyarakat mengeluhkan harga cabai yang melambung, ternyata diam-diam jutaan petani telah patah hati terlebih dahulu.

Kenapa?

Karena ilmu bertani yang mereka pelajari secara turun-temurun, ambyar akibat cuaca yang tidak menentu.

Petani harus menghadapi gagal panen akibat cuaca buruk

Hujan ekstrem datang lebih sering. Padahal, siklus normalnya hanya 5-10 tahun sekali2. Di waktu lain, hujan malah tidak mau turun biarpun sudah dinanti-nanti. Kering. Nelongso.

Kedua kondisi ini, sama-sama tidak ideal bagi para petani cabai. Hujan yang terlalu deras, bisa membuat tanaman cabai mudah terserang penyakit, seperti patek alias busuk buah. Penyakit yang satu ini tidak mengenal usia. Mau cabai muda, tua, ataupun yang sudah hampir matang, semua disikat!

Sebaliknya, kekurangan air pun bisa jadi mimpi buruk. Petani terpaksa berebut air dengan rekan-rekannya sendiri. Jika tidak, tanaman cabainya akan layu sebelum sempat berbuah.

Impian petani untuk panen cabai pun B.U.Y.A.R! Selain memberikan kerugian finansial, hal ini juga mengakibatkan produksi nasional cabai kita menyusut1. Cabai menjadi langka di pasar-pasar, padahal permintaannya sangat tinggi. Mau tidak mau, harga cabai pun menjadi semakin mencekik.

PERUBAHAN IKLIM, SI BIANG KELADI
Siapa dalang dari semua kekacauan ini?!! Tentu saja si perubahan iklim!

Tapi, perubahan iklim tidak akan terjadi tanpa adanya bantuan dari gas-gas rumah kaca, seperti karbondioksida (CO2), metana (CH4), dll.

Surprisingly, dalam kondisi normal, gas rumah kaca sebetulnya bermanfaat bagi kita
3. Mereka “menyelimuti” Bumi agar tetap hangat. Planet kita pun jadi nyaman untuk ditinggali.

Gas-gas rumah kaca berfungsi seperti selimut yang membuat suhu di Bumi menjadi hangat. Apa yang terjadi jika gas-gas rumah kaca terlalu banyak di atmosfer kita?

Namun saat ini, gas rumah kaca sudah terlalu buanyak di atmosfer. Bahan bakar fosil seperti minyak bumi dan batubara, digunakan secara masif oleh manusia dengan dalih untuk kemajuan ekonomi dan industri.

Asap pabrik, emisi kendaraan bermotor, penebangan hutan dan penggunaan listrik yang berlebihan, turut menyumbang kepada meningkatnya emisi gas rumah kaca.

Bahkan tanpa disadari, sepiring nasi beserta lauk-pauk yang kita hidangkan untuk keluarga, juga meninggalkan jejak karbondioksida (CO2) dan metana (CH4) di udara.

Aktivitas manusia untuk memperoleh pangan juga berkontribusi meningkatkan gas-gas rumah kaca di atmosfer.

Kalau sudah begini, “selimut” Bumi pun menjadi semakin tebal. Bukannya nyaman, malah jadi hareudang. Panas!

Lantas, apa efek samping dari pemanasan ini? Ya…perubahan iklim! 



Gas-gas rumah kaca berdampak kepada pemanasan global. Dan pemanasan global memicu perubahan iklim

Panas membuat air di laut menguap lebih banyak. Akhirnya curah hujan menjadi lebih ganas. Di sisi lain, pemanasan global juga meningkatkan penguapan di darat, sehingga lebih rentan terhadap kekeringan.

Seperti yang sudah saya sebutkan, kedua kondisi ekstrem ini, sama-sama tidak ideal bagi kegiatan bercocok tanam yang sangat bergantung kepada cuaca.

Jika terus berlanjut, bukan produksi cabai saja yang akan berkurang, tapi juga komoditas pangan lain. Masalah kekurangan gizi pun mengintai.

Lalu, apa yang bisa kita perbuat?

MELAWAN PERUBAHAN IKLIM - DIMULAI DARI DAPUR
Kalau kata peneliti, perempuan adalah salah satu kaum yang akan menerima dampak perubahan iklim paling besar8! Duh, miris!

Tapi saya yakin, perempuan juga ahli dalam menghadapi situasi krisis. Apalagi kalau perkara rumah tangga, langsung pasang badan!

Untuk itu, Sebagai mamak-mamak, saya juga mau nimbrung memberikan solusi #UntukmuBumiku .

My kitchen is my battleground. Dari dapur, saya berusaha untuk melawan perubahan iklim.

Bagaimana caranya?


Belanja Pangan Seperlunya

Sejak berkenalan dengan isu perubahan iklim, saya belajar untuk lebih conscious atau berkesadaran dalam berbelanja. Nggak lebay lagi, terutama ketika membeli bahan-bahan segar seperti sayur dan buah-buahan. 

Saya bilang mantra ini ke diri sendiri: fungsi kulkas itu untuk memastikan agar makanan tetap segar sebelum dikonsumsi, bukan untuk menyimpan bahan pangan sampai busuk dan basi. 

Beli Produk Pangan Lokal

Di rumah, penggunaan tepung terigu sengaja saya batasi. Bukan karena mau sok gluten free, toh saya ndak punya alergi.

Alasannya, justru karena tepung terigu di negara kita masih 100% impor dari negara lain, seperti Amerika Serikat, Ukraina, dan Australia4! Udah pada tau, belum?

Pengiriman bahan baku dari benua nan jauh di sana membutuhkan banyak bahan bakar dan menghasilkan emisi gas rumah kaca. Untuk menguranginya, saya beralih ke tepung lokal. Seperti tepung singkong, tepung beras, dll5.

Lebih Sering Masak di Rumah

Aslinya, saya tuh nggak terlalu suka masak, but I did it anyway…almost every single day.

Dengan masak di rumah, saya bisa menghindari banyak kemasan yang belum tentu dapat di daur ulang. Juga mengurangi asap kendaraan bermotor dari layanan pesan-antar.

Hemat Air Saat Mencuci Piring

I never let the water run. Saya usahakaaan banget supaya airnya tidak terbuang. Kalau lagi nyabunin piring, ya airnya dimatikan. Ketika membilas, baru kerannya dinyalakan kembali.

Seminggu Sekali Jadi Vegan

Sepertiga dari gas metana yang wara-wiri di atmosfer, ternyata berasal dari binatang ternak6. Karena alasan ini, saya jadi vegan paling nggak seminggu sekali.

Awalnya keliatan susah untuk masak menu vegan, tapi ternyata gampang! Menu vegan nggak harus kebarat-baratan, mahal, dan hambar. Justru bisa jadi lokal banget dan tetep enak. Contohnya, gado-gado, gulai tahu, tempe penyet, nasi bakar jamur, putu mayang, and the list goes on.

Mengompos Yuk!

Sampah organik dari dapur juga menyimpan gas metana. Tahun 2005 silam, bahkan pernah terjadi ledakan besar di tempat pembuangan sampah Leuwigajah yang dipicu oleh gas metana ini7.

Mengompos adalah cara saya untuk mengelola sampah basah tersebut. Dengan mengompos, emisi gas rumah kaca yang dilepaskan ke atmosfer akan jauh berkurang.

Mau mengompos juga? Monggo baca caranya di tautan ini.


Bekukan dan Keringkan Makanan

Mayoritas orang Indonesia masih memilih cabai segar untuk masak. Padahal di Pakistan dan India, penggunaan cabai kering (dan bumbu-bumbu kering lainnya), sudah umum.

Saya pribadi, love banget deh pakai bahan-bahan kering ini, soalnya awet berbulan-bulan tanpa perlu dimasukkan ke lemari pendingin.

Kalau masih susah cari bahan kering, kita bisa memperpanjang usia pangan dengan cara membekukannya di freezer. Easy! Saya sendiri sering membekukan cabe, bawang putih, jahe, sereh, dll. Bumbu-bumbu tersebut jadi bisa tahan hingga 12 bulan. Yeay!

Solusi-solusi yang bisa kita lakukan dari dapur!

LET’S WIN THIS BATTLE TOGETHER
Saat ini, perubahan iklim sudah membuat kita tersengal-sengal dalam memenuhi kebutuhan sektor pangan. Harga cabai yang meroket, hanyalah permulaan. 

Ibu rumah tangga, pemilik rumah makan, pedagang keliling, hingga petani di ladang, semua terkena imbas. Sebagian masyarakat pun terlunta. Adakalanya, cabai yang terkenal sebagai komoditas “merakyat”, malah jadi barang mahal. Padahal, menikmati cabai, terutama yang diolah menjadi sambal, adalah salah satu sumber kebahagiaan rakyat Indonesia, apapun kelas ekonominya.

Selain itu, jika perubahan iklim terus memburuk, anak-cucu kita juga terancam kehilangan sumber makanan dalam skala yang lebih besar di masa depan.

Tidak ada cara lain untuk menghentikannya, kecuali turut mengambil bagian dalam melakukan aksi-aksi yang PRO terhadap iklim. Yuk, bergabung dalam komunitas yang membawa perubahan. Let’s #TeamUpforImpact !

Kita bisa menyumbang tenaga, waktu, solusi…atau APAPUN yang kita bisa.

Tunggu apa lagi? Let’s take action and WIN this battle TOGETHER.

Semua #UntukmuBumiku yang satu.


***


Referensi



You Might Also Like

2 comments

  1. Dulu pernah saya jualan bakso.. jg sangat sedih akibat kenaikan cabe... baru tahu kalo pedas bukan rasa hehe.. umami itu rasa apaan ya

    ReplyDelete
  2. Pemilik usaha kuliner emang kena dampak luar biasa yaa.. :(

    Umami itu rasa "gurih". Bisa dari mecin. Tapi ada dari sumber alami jg, kayak daging, makanan laut, jamur, dll :)

    ReplyDelete

MY SCIENCE EDUCATION WEBSITE

A Member of

A Member of

Komunitas