Dari kota Gatlinburg, Negara Bagian Tennessee, tiba-tiba suami memberikan saya kejutan. “Kita nggak langsung balik ke Columbus ya, mau nginep di rumah Ed sama Arleen dulu,” ujarnya. Saya kaget. Pertama karena saya tidak tahu apakah pakaian dalam saya akan cukup kalau harus menambah menginap beberapa hari lagi (ini masalah besar). Kedua, saya tidak menyiapkan buah tangan apapun untuk pasangan lanjut usia ini.
Tapi toh saya setuju saja dengan Pak suami yang memang kadang suka seenak udelnya membuat rencana. Menikah dengannya merupakan serangkaian peristiwa “expect the unexpected”. Lagipula, diam-diam saya penasaran juga dengan Ed dan Arleen. Sosok yang selama ini hanya saya kenal dari dari cerita-cerita suami.
***
“Once upon a Time”, begitulah Ed dan Arleen menyebut kediaman mereka, mengingatkan saya akan kalimat pembuka pada setiap cerita dongeng negeri barat. Nyatanya, kehidupan keduanya memang mirip dengan fairytale.
Pasangan ini tinggal di hutan belantara dan menempati area seluas 16 hektar (yang membuat saya sangat iri). Letaknya di antara Great Smoky Mountains National Park dan Cherokee National Forest, Tennessee. Namun keduanya membeli hutan tersebut secara legal, bukan merupakan hutan yang masuk ke dalam kategori dilindungi.
Sedangkan rumah, perabot dan fasilitas-fasilitas di sekitarnya, dibangun sendiri oleh Ed yang merupakan tukang kayu profesional. Karya-karyanya dipamerkan di sebuah studio di North Carolina. Saking hebatnya, hasil kerajinan tangannya bahkan pernah dipesan oleh mantan presiden Amerika Serikat Mr dan Mrs. Reagen.
Tapi bukan Ed namanya bila tidak memberikan plot twist pada ciptaannya. Ia akan kembali menanam puluhan pohon untuk setiap pohon yang ia tebang ketika membuat sebuah karya. Selain seorang tukang kayu, ia juga pernah menjadi seorang mountain ranger yang menjaga hutan, sumber daya dan ekosistem di dalamnya.
Tapi bukan Ed namanya bila tidak memberikan plot twist pada ciptaannya. Ia akan kembali menanam puluhan pohon untuk setiap pohon yang ia tebang ketika membuat sebuah karya. Selain seorang tukang kayu, ia juga pernah menjadi seorang mountain ranger yang menjaga hutan, sumber daya dan ekosistem di dalamnya.
Ed dan Arleen bersama anak saya |
Sang istri, Arleen, tak jauh berbeda dari Ed soal cinta-mencintai lingkungan. Ia lahir dan besar di New York, tapi terlanjur jatuh hati dengan Tennessee, hutan, gunung, serta masyarakat setempat. Ia pun memutuskan untuk tidak kembali ke kota asalnya. Arleen muda malah memilih untuk membuka jalur setapak sejauh ratusan kilometer di hutan rimba. Ia sangat ahli di bidang ini. Kedinginan, kehujanan, kepanasan, hingga terkena badai salju, sudah menjadi temannya.
***
Ed dan Arleen, jika digabungkan, tentu akan menghasilkan sesuatu yang fenomenal. Berbekal combine experiences di bidang volunteerism, konservasi lingkungan dan adventure selama lebih dari 50 tahun, mereka pun menjalankan hari tua dengan bahagia. kehidupan mereka jauh lebih berwarna dibandingkan dengan sebagian besar lansia di Amerika Serikat yang lekat dengan image hidup kesepiannya.
Ed dan Arleen membuka rumah mereka bagi para relawan dari berbagai penjuru Amerika Serikat, umumnya yang masih berstatus mahasiswa untuk belajar dan bekerja di sana. Suami saya adalah salah satu pelajar yang pernah singgah dan meneguk beragam manfaatnya.
Menu kerja yang ditawarkan oleh Ed dan Arleen sangat beragam. Namun sebagian besar berhubungan dengan upaya pelestarian alam di kawasan pegunungan Great Smoky Mountain, serta membantu dan mengenal suku Cherokee yang tinggal di area tersebut. Ya, suku Cherokee, yang merupakan suku asli Amerika Serikat (kalau di Indonesia, mereka dikenal dengan nama suku Indian) masih tinggal di kawasan ini.
***
Jalan-jalan tak melulu soal senang-senang. Di tempat Ed dan Arleen, para relawan akan diminta untuk melakukan kerja otot seperti menolong warga Cherokee yang sudah sepuh membersihkan halaman mereka yang dipenuhi alang-alang, membuka dan membuat jalur setapak di Cherokee National Forest, seperti yang dilakukan oleh Arleen dulu, hingga mencabut tanaman liar serta meletakkan batang kayu pada pohon-pohon pinus yang masih bayi di hutan. Fungsinya? Supaya pohon pinus tersebut tumbuh dengan baik. Kabarnya, suku Cherokee sangat menghormati pohon pinus ini.
Relawan Membuat jalan setapak |
Namun, ada pula kegiatan yang ringan dan mengasyikkan. Seperti belajar membuat selai blackberry organik (yang dipetik dari kebun sendiri seluas setengah hektar), dan mengawetkannya secara alami dengan metode canning, menjadi penonton acara musik country yang dibawakan oleh lansia-lansia yang masih lincah dan penuh semangat, belajar soal beruang hitam yang semakin punah di kawasan pegunungan Appalachia, hingga bermain fish net, permainan asli suku Cherokee.
Sayangnya, waktu itu saya hanya menjadi tamu reguler di sana, sehingga tidak menjalankan menu kerja seperti para relawan yang lain. Namun dari kunjungan singkat ini, tetap saja saya dapat belajar beberapa hal dari Ed dan Arleen mengenai gaya hidup yang lestari. Beberapa catatan saya, antara lain:
- Ed membuat composting toilet untuk digunakan oleh para relawan (toilet dimana hasil kotoran manusianya dapat dijadikan pupuk kompos setelah digabung dengan sisa organik yang lain 😆). Tapi jangan salah, toiletnya bersih dan tidak berbau sama sekali. Dijamin tidak ada rasa jijik ketika menggunakannya.
- Ed dan Arleen menggunakan pupuk tersebut untuk bercocok tanam di kebunnya. Intinya, tidak ada yang tidak dimanfaatkan di rumah mereka, termasuk kotoran manusia 😁
- Hasil kebun akan dibuat bermacam-macam produk. Sebagian untuk konsumsi jangka pendek, dan sebagian lagi untuk jangka panjang. Arleen biasanya membuat banyak pickle (sayuran fermentasi) di dalam toples dan membuat berbagai selai buah yang diletakkan dalam canning jar. Sedangkan sisa hasil panen lainnya dibersihkan kemudian dimasukkan dalam freezer. Ketiga metode ini (pickle, canning dan freezing merupakan metode pengawetan makanan secara alami. Hasil alam pun dapat digunakan hingga musim panen berikutnya (begitulah orang Amerika Serikat, tidak bisa menanam sepanjang tahun). Ujungnya, kita dapat menghindari makanan terbuang sia-sia karena terlanjur membusuk dsb.
- Hampir semua sampah-sampah di once upon a time, akan di upcycle menjadi benda lain yang bermanfaat untuk keperluan relawan.
***
Couple Goals,
Itulah kesimpulannya setelah melihat kehidupan Ed dan Arleen. Tidak hanya romantis kepada satu sama lain (yang ditunjukkan dengan perhatian-perhatian kecil ketika bersama-sama melintasi jalan setapak di tengah hutan), namun mereka juga romantis terhadap alam sekitar dan masyarakat yang membutuhkan. Dalam hal ini, suku Cherokee. Semua berawal dari passion yang sama. Romansa hari tua pun terlaksana.
Tak ayal, saya dan suami bermimpi agar suatu saat dapat memiliki kehidupan hari tua yang damai seperti mereka di Once Upon a Time (minus rumah dan fasilitas yang dibuat oleh tangan sendiri 😆). Insha Allah nantinya, kami pun ingin bisa membeli lahan yang luas, memberdayakan warga sekitar, dan membuka kesempatan belajar yang sebesar-besarnya bagi para relawan. Tentunya dengan menggabungkan passion dan pengalaman kami masing-masing. Tidak perlu sama persis dengan yang dilakukan oleh Ed dan Arleen. Namun semangat mereka yang ingin kami duplikasi. Karena...inilah cerita dan cita-cita romantis hari tua versi saya dan suami.
Hoping for peaceful and beautiful tomorrow with him |
***
Note: bagi yang ingin membaca kisah lengkap tentang Ed dan Arleen, Once Upon a Time, Suku Cherokee dan perjuangan mereka melawan pendatang, sila berkunjung ke blog suami saya di tautan ini. Btw, he's such a good story teller!
- Monday, March 04, 2019
- 16 Comments