Cara Membuat Kurikulum Untuk Diri Sendiri - Plus Contoh dan Template

Sunday, February 24, 2019


Personalized Curriculum

Selama empat tahun berumah tangga, sejujurnya saya mengalami berbagai kesulitan dalam mempelajari hal baru. Ada beberapa passion dan ilmu yang ingin saya tekuni pasca menikah, tapi ternyata selalu kurang berhasil karena berbagai hal. Mulai dari sulit menemukan waktu yang tepat (saya selalu tinggal di rantau, tanpa keluarga, tanpa asisten, dan tidak ada daycare untuk menitipkan anak), atau murni memang karena saya kurang fokus alias seperti kutu loncat. Gemar sekali berpindah-pindah mempelajari hal lain, padahal topik sebelumnya belum dikuasai secara menyeluruh.

Kalau saya boleh beralasan sekali lagi, faktor kegagalan tersebut juga terjadi karena saya harus belajar secara mandiri. Tidak ada kurikulum yang terstruktur seperti waktu di sekolah dulu. Materi baru, terlihat seperti puzzle raksasa yang harus disusun, tapi kita belum pernah melihat bentuk akhirnya. Rasanya jauh lebih menantang kan?

Kegagalan demi kegagalan tersebut, mendorong saya untuk mencoba cara baru dalam belajar. Dengan bantuan suami yang memang sudah berpengalaman mengembangkan kurikulum di sebuah sekolah swasta, saya pun mulai merancang kurikulum sederhana untuk diri saya sendiri dengan menggunakan metode backward design. Suatu kaidah pembuatan kurikulum yang digagas oleh Bapak Jay McTighe and Grant Wiggins. Keduanya adalah pakar kurikulum yang karya-karyanya sudah diakui dalam dunia pendidikan internasional.

Pada metode ini, kita membuat kurikulum dengan menentukan hasil yang hendak dicapai terlebih dahulu. Setelah itu, baru memilih cara untuk mengevaluasi dan merancang kegiatan pembelajarannya. Kalau dipikir-pikir, mirip dengan salah satu point dalam buku “7 Habits of Highly Effective People” karya Steven Covey ya! “Begin with End in Mind”.

Backward Design

SEBELUM MEMBUAT KURIKULUM

Sebelum membuat kurikulum, hal yang pertama saya lakukan adalah mencari tau kenapa harus belajar. Dengan adanya motivasi yang tepat, proses belajar akan terasa lebih meaningful.

Karena saya merupakan seorang ibu rumah tangga, maka saya ingin belajar agar bisa keluar sejenak dari rutinitas, mendapatkan perasaan yang lebih bahagia karena telah melakukan hal baik bagi lingkungan, serta meningkatkan self-worth agar lebih mencintai diri sendiri.

Jika kalian merupakan pekerja ataupun mengemban profesi lain, saya rasa pertanyaan ini tetap berlaku. Apa motivasimu?

Sebagai contoh:  


  • Saya belajar agar bisa memperoleh skill baru, sehingga nantinya bisa mendapatkan pekerjaan lain dengan posisi dan gaji yang lebih tinggi.
  • Saya belajar agar bisa melakukan perubahan yang berarti bagi masyarakat
  • DLL
Jika motivasi sudah kuat, maka hal selanjutnya yang harus dilakukan adalah membuat daftar hal-hal yang ingin dipelajari dan mungkin dicapai.

Misalnya, sekarang kondisi saya sedang hamil anak kedua. Otomatis, waktu optimal saya untuk belajar paling mentok hanya sampai sebelum melahirkan. Untuk itu, saya menghindari belajar hal-hal yang time consuming, seperti belajar menjahit misalnya. Biarpun saya sangat suka. Jangan juga memaksakan diri untuk belajar mengenai hal yang memerlukan terlalu banyak modal. Kecuali kita yakin bahwa yang kita pelajari tersebut merupakan investasi ilmu yang berharga.


MULAI MEMBUAT KURIKULUM

Menentukan Tujuan Pembelajaran

Ibaratnya ingin pergi berlibur, akan lebih mudah kalau kita memilih destinasinya dulu, bukan langsung membuat seabrek daftar kegiatan, ya kan? Membuat kurikulum pun tak jauh berbeda. Kita harus memikirkan tentang hasil apa yang ingin kita capai di akhir pembelajaran nanti.

Dalam contoh ini, saya memiliki satu outcome atau tujuan besar, yaitu ingin dapat menjalankan pola hidup yang berkelanjutan (sustainable living) secara konsisten. Tapi sustainable living itu kan masih terlalu luas ya. Bisa-bisa nanti kita bicara tentang circular economy, sumber energi, dll.

Oleh sebab itu, saya mengecilkan ruang lingkup sustainable living ini ke dalam beberapa tujuan kecil lagi. Yaitu yang berkaitan dengan less waste lifestyle (hidup minim sampah), home composting (membuat pupuk kompos skala rumahan) dan urban farming (pertanian kota).


Hasil yang ingin saya capai dari masing-masing topik adalah seperti yang tertuang dalam gambar berikut:

Tujuan Pembelajaran dalam Kurikulum Saya - Zoom untuk memperbesar

Enaknya dari membuat kurikulum sendiri adalah, sifatnya sangat personalized. Kita bisa bebas menentukan tujuan pembelajaran sesuai dengan level kemampuan kita. Mau yang tingkat pemula bisa, langsung ke level mahir juga boleh. Ruang lingkupnya pun bisa dipersempit atau diperluas tergantung kebutuhan.

Sebagai contoh, untuk topik mengenai urban farming, target saya untuk saat ini adalah mampu menanam dan merawat satu jenis tanaman (cabe rawit) dari benih hingga berbuah dan siap dipanen. Sederhana sekali ya? Kalau dibaca oleh orang desa yang biasa menanam, mungkin saya akan diketawain. Kok begitu saja pakai kurikulum?

Tapi menurut saya, selaku anak kota yang belum pernah berhasil menanam apapun (kecuali tauge), bercocok tanam adalah ilmu baru, asing, dan susah.

Jika tidak ada kurikulum, mungkin saya akan cepat beralih untuk belajar hal lain ketika menghadapi hambatan. Misalnya, saat benih gagal tumbuh, atau ketika tanaman mendadak mati karena terkena hama, padahal belum sempat dipanen, dsb.

Tapi karena saat ini sudah memiliki tujuan yang jelas, justru saya akan mencari tahu penyebab kegagalan tersebut, kemudian berusaha kembali, sampai akhirnya berhasil mencapai target pembelajaran.
Bukti Penilaian (Assessment)

Tujuan sudah ada, tahapan selanjutnya adalah, kita harus menetapkan satu cara untuk membuktikan bahwa tujuan pembelajaran kita sudah tercapai. Caranya? Ya dengan serentetan tugas yang bisa mendemonstrasikan hal yang sudah dikuasai.

Contohnya, tujuan saya yang berkaitan dengan home composting adalah:

Dapat menghasilkan unit pengelolaan sampah organik rumah tangga yang bekerja dengan efektif.

Maka untuk membuktikan keberhasilannya, saya akan melakukan praktek membuat beberapa jenis komposter yang dapat mengurai sampah-sampah organik. Kemudian membuat tabel perbandingan yang merekam kelebihan, kekurangan, masalah dan solusi, serta biaya pembuatan masing-masing komposter. Selain praktek, saya juga akan menulis satu seri artikel di blog mengenai komposter dan turunannya. Dari sini, nantinya bisa terlihat kan, apakah saya sudah berhasil menghasilkan unit pengelolaan sampah organik yang efektif atau belum?

Di luar yang saya sebutkan, sebetulnya masih banyak “metode pembuktian” atau penilaian yang lain. Seperti membuat film dokumenter dan video tutorial, presentasi ke anggota keluarga atau teman, menulis essay, mengisi lembar kerja, atau sekadar melakukan tanya jawab seputar komposter dan permasalahannya di Instastory. Bebas, dan boleh sekreatif mungkin. Asalkan sesuai dengan tujuan kita di awal.

Template Kurikulum Backward Design - Zoom untuk memperbesar

Merencanakan Kegiatan

Pada tahap ini, kita memikirkan tentang bagaimana sih urutan kegiatan belajarnya agar kita bisa menghasilkan bukti-bukti tersebut?

Yang jelas, urutan/tahapannya harus dari yang paling gampang ke yang paling susah. Contohnya, pada awal belajar mengenai komposter dulu:


  • Saya hanya sekadar tau mengenai kompos dan fungsinya.
  • Lalu lama kelamaan, saya bisa menjelaskan kepada orang lain tentang apa sih komposter itu dan bagaimana proses dekomposisinya.
  • Selanjutnya, saya mampu mendemonstrasikan cara membuat komposter baik yang sistem aerob maupun anaerob.
  • Jika ditanya oleh orang lain tentang jenis-jenis komposter, saya bisa membandingkan kelebihan dan kekurangannya.
  • Dan dalam level yang lebih tinggi lagi, saya dapat mengidentifikasi masalah pada komposter dan melakukan penanganan yang tepat (problem solving)

Perhatikan deh kata kerja yang saya tebalkan. Jika saya baru sekadar mengetahui, tentu saya tidak bisa beralih ke tahap selanjutnya (menjelaskan). Tapi jika sudah bisa melakukan identifikasi dan memecahkan masalah, pasti saya sudah tau, bisa menjelaskan, mendemonstrasikan dan membandingkan dengan mudah. Ibaratnya, ilmu tersebut sudah ngelotok di kepala. Sudah menjadi ilmu yang bermanfaat, dan bukan hanya sesuatu yang akan saya lupa dalam semalam. Bukankah sejatinya, ini merupakan esensi dari menuntut ilmu?

Setelah mengetahui urutannya, kita dapat menentukan jenis kegiatan apa saja yang harus dilakukan agar betul-betul menguasai topik hingga ke tahap yang paling kompleks tersebut. Misalnya dengan belajar melalui sumber bacaan, menonton video tutorial, melakukan praktek membuat beragam jenis komposter, observasi, membuat percobaan, dsb.

Dari kegiatan-kegiatan ini, objektif saya untuk dapat membuat unit pengelolaan sampah organik rumah tangga yang bekerja dengan efektif, dapat tercapai.

MANFAAT YANG DIRASAKAN

Awalnya, membuat kurikulum memang terasa ribet dan menambah step dalam belajar. Tapi setelah tersusun rapi, ternyata rasa memiliki saya terhadap kurikulum ini menjadi sangat tinggi. Karena saya yang merancang sendiri (I tailored it just for me!), saya jadi terdorong untuk menyukseskan proses belajar seperti yang telah direncanakan.

Setelah dijalankan, ternyata saya juga bisa menjadi lebih fokus. Dulu kalau belajar, saya hanya bisa sampai di kulit-kulitnya saja, tidak mendalam. Lalu pindah ke topik lain ketika mengalami hambatan (atau ketika melihat ada hal keren lain di instagram). Akhirnya saya menjadi Jack in all trades, master in none, yang memiliki banyak kebolehan, tapi tidak pernah sampai pada tahap mahir. Padahal, saya bosan menjadi seorang generalist (biarpun ada yang bilang, generalist itu relevan untuk zaman sekarang).

Dan yang paling penting, sekarang saya merasa lebih mudah bahagia, padahal hanya karena mendapatkan kesuksesan-kesuksesan kecil. Seperti ketika melihat tanaman saya tumbuh, atau pada saat menyaksikan sampah-sampah di komposter bertransformasi menjadi pupuk :D

Itu semua merupakan tujuan belajar saya yang tertuang dalam kurikulum, kan? Maka ketika satu-persatu tujuan tersebut menjadi nyata di depan mata, saya merasa berhasil. Dan keberhasilan tersebut didapat berdasarkan indikator kesuksesan saya sendiri, bukan dari membandingkan diri saya dengan orang lain :)

***

Tertarik membuat kurikulum sendiri?


You Might Also Like

7 comments

  1. Wah keren mba saya malah gak kepikiran tentang kurikulum yang dibuat sendiri, sepertinya saya juga harus buat breakdownnya biar ilmu yang saya pelajari maksimal

    ReplyDelete
    Replies
    1. Please do! Semoga bermanfaat ya tulisannya mbak :)

      Delete
  2. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  3. Masya Allah ketemu tulisan ini setelah kegelisahan berkecamuk dalam dada "aku mau ngapain si ni sebenernya", semua pengen dipelajarin tapi gak ada yang tuntas. Jazakillah sister...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Masha Allah.. terima kasih mbak... seneng bgt kalau tulisanku bermanfaat. Tetep semangat ya mbak :)

      Delete
  4. Wah senengnya nemu tulisan ini. Kebetulan memang lagi cari cara membuat kurikulum utk belajar secara mandiri. Soalnya saya sedang kuliah S2 tapi merasa ga punya arah. Sama seperti penulis, punya banyak kebolehan tapi tidak pernah menguasai, mudah terdistraksi dan beralih mempelajari hal lain. Boleh yaa nanti saya konsultasi ttg kurikulum ini ke penulis. Salam kenal

    ReplyDelete
  5. Syukron tulisannya aku dapat ilmu

    ReplyDelete

MY SCIENCE EDUCATION WEBSITE

A Member of

A Member of

Komunitas