48 Jam yang Berharga di Kaki Gunung Rinjani

Sunday, July 22, 2018



Dulu saya dan suami berikrar, bahwa tujuan kami keluar dari hiruk pikuk Jakarta dan pindah ke pulau Lombok, adalah agar dapat menghabiskan waktu yang lebih banyak bersama keluarga.

Nyatanya, seringkali waktu yang berharga tersebut malah kami tukar dengan berselancar ke dunia masing-masing melalui layar telepon genggam. Saya asyik menyaksikan video musik K-pop yang seringkali menjadi guilty pleasure. Sedangkan suami, tenggelam dalam kekonyolan Sheldon Cooper di serial The Big Bang Theory.

***

Memasuki desa Sembalun di kaki gunung Rinjani, kami masih saja terpesona melihat deretan bukit-bukit kekar yang mengelilingi rumah warga dan area persawahan. Kata “wow” tiba-tiba meluncur begitu saja. Padahal, ini adalah kunjungan saya yang keempat, dan yang kedua bagi suami.



Hari ini, kami berencana untuk menikmati Rinjani dengan cara lain, yaitu dengan mendirikan tenda alias camping. Ini adalah impian keluarga yang telah lama tertunda. Pasalnya, kami menunggu musim hujan berlalu agar bisa berkemah dengan lebih menyenangkan bersama si kecil.

Kemah Ceria

Saya dan suami adalah pasangan pencinta  gunung sejati. Bukan kekuatan fisik yang membuat kami ingin selalu kembali ke sini, melainkan keindahan gunung yang terlalu ajaib untuk dilewatkan. Jika mengandaikan gunung sebagai makanan, maka ia adalah indomie goreng rasa original. Sukses membuat ketagihan! Bedanya, gunung membuat kami sehat.


Maka sudah tentu kami ingin memperkenalkan hal yang kami cintai ini kepada Kautsar (anak kami). Tapi untuk pengalaman pertamanya ini, target kami tidak muluk-muluk. Kami memilih untuk melakukan kemah ceria di Nauli Bungalow.

Nauli Bungalow merupakan penginapan kecil yang letaknya persis di kaki gunung Rinjani. Jumlah kamarnya tak sampai sepuluh unit. Tapi kabar baiknya, halamannya sangaaat luas. Kami diizinkan untuk menyewa sepetak tanah dan mendirikan tenda pribadi di sana. Hari itu kami beruntung karena tak ada satupun tamu yang menginap. Hanya ada beberapa pengurus bungalow dan kami. Halaman luas yang sedang menganggur pun langsung dimanfaatkan oleh duo jagoan saya untuk bermain sepak bola dan bulutangkis secara bergantian.

Asyiknya lagi, di bungalow ini kami masih bisa mendapatkan akses ke air bersih dan kamar mandi. Sungguh suatu kemewahan di alam bebas. Kami anggap ini sebagai latihan sebelum mengajak Kautsar berkemah di Pulau Kenawa, atau tempat-tempat lainnya di Indonesia suatu hari nanti.

Walaupun camping kali ini merupakan yang tersantai dari yang pernah saya dan suami jalani, namun rasa petualangannya tetap terasa. Gunung Rinjani gagah bertahta tepat di depan mata. Tubuhnya tak terhalang oleh apapun. Di malam hari kami bahkan bisa melihat titik-titik cahaya senter milik para pendaki yang tengah menuju Plawangan Sembalun. Basecamp terakhir sebelum menuju Puncak gunung Rinjani.

Fajar di Sembalun

Subuh menjelang. Tubuh saya menggigil tak karuan saat angin gunung berhembus ke kulit saya yang basah terkena air wudhu. Namun tiupan dingin itu sukses membuka mata saya lebar-lebar tanpa perasaan kantuk sedikitpun.

Setelah sholat subuh di alam terbuka, saya, beserta suami dan Kautsar pun menikmati fajar pertama kami di kaki Rinjani. Kautsar melanjutkan permainan sepak bolanya, seolah lupa bahwa ia sedang kurang enak badan. Kedua kakinya basah menginjak embun. Celananya pun ikutan lembab saat ia jatuh ke atas rumput. Saya dan suami bisa relax sejenak memandangi keceriaan si kecil sambil menyeruput teh hangat.

Tiba-tiba Mas Heru, penjaga Nauli Bungalow mencari kami, dan bertanya kapan kami ingin dihidangkan makan pagi. Sontak kami bertambah sumringah, karena menurut kesepakatan sebelumnya, harga yang kami bayar sebetulnya belum termasuk sarapan. Tentu ini sebuah rejeki yang tidak bisa kami tolak. Namun kami memutuskan untuk naik bukit terlebih dahulu sebelum menikmati hidangan yang disajikan oleh Mas Heru yang baik ini.

Memandang Alam Dari Atas Bukit

Barisan pohon bambu di bukit Selong menyambut kami, satu-satunya pengunjung di pagi itu. Kami pun segera menaiki anak tangga. Tak sampai dua menit, kami sudah tiba di atas. Seperti kunjungan yang sebelumnya, pemandangan dari atas sini ternyata tetap menawan. Suami pun mengambil teropong kesayangannya dan mengintip aktivitas para petani di bawah lembah nan jauh di sana.



Tak lama kemudian, bocah-bocah lokal berdatangan entah dari mana. Rupanya mereka naik dari jalur pendakian tak resmi. Mereka sudah hafal betul tempat ini karena memang merupakan lokasi bermain sehari-hari. Kami pun berbincang-bincang sejenak tentang keseharian mereka. Katanya, hari ini, mereka sedang libur sekolah lantaran merayakan hari Nisfu Sya’ban. Baru kali ini saya mendengar ada sekolah diliburkan karena merayakan hari tersebut.

Puas menikmati keindahan bukit Selong, kami pun bertolak ke bukit Tangkok. Saya menjadi tertarik untuk ke sini setelah mendapatkan rekomendasi dari anak-anak ramah tadi. Mereka bilang, pemandangan di sana tak kalah cantik dengan bukit Selong.


Kami pun mencoba membuktikan sendiri. Ternyata mereka benar, bukit Tangkok sangat indah. Bahkan pada akhirnya saya lebih menyukai bukit ini dibandingkan dengan bukit Selong. Medan pendakiannya memang sedikit lebih terjal, namun masih tergolong mudah. Kami membutuhkan waktu tak sampai sepuluh menit untuk mencapai puncak.


Di atas bukit, lagi-lagi hanya ada saya dan keluarga. Itulah keistimewaan datang kemari pagi-pagi sekali. Kami jadi bisa duduk berlama-lama tanpa harus bergeser untuk memberikan kesempatan kepada pengunjung lain yang ingin berfoto.  

Nuansa desa Sembalun dari atas bukit Tangkok benar-benar membius. Namun waktu sudah menunjukkan hampir pukul sembilan pagi. Kami sudah berjanji kepada Mas Heru untuk kembali ke bungalow untuk menyantap sarapan pagi.

Memandang Bukit dari Bawah Lembah

Rasa lelah baru terasa setelah kami tiba di bungalow. Menu nasi goreng komplit yang telah menanti pun langsung tandas masuk ke perut kami yang lapar.

Puas dengan hidangan yang diberikan, kami kembali pamit ke Mas Heru. Kali ini kami ingin pergi kebun Stroberi. Letaknya tepat di lembah dan dikelilingi perbukitan. Saat berada di bukit Tangkok, saya memang sudah bertanya-tanya, kira-kira seperti apa pemandangan dari bawah sana? Pasti menarik jika bisa melihat bukit-bukit di Sembalun dari sudut pandang yang lain. Rupanya, Sembalun tetap terlihat photogenic dari berbagai sisi.


Tiba di kebun, Kautsar terlihat antusias. Ia semangat sekali ketika melihat pohon stroberi yang rendah-rendah, tidak seperti pohon mangga di rumah kami yang tinggi menjulang. Tubuh Kautsar yang mungil pun dapat dengan mudah meraih buah stroberi yang telah ranum.


Buah yang dipetiknya langsung digigit besar-besar. “Manis”, katanya girang. Rasa stroberi di Sembalun memang akan jauh lebih manis dan nikmat jika dipanen saat musim kemarau seperti ini. Kami beruntung bisa mencicipinya langsung dari kebun, dengan harga yang lebih terjangkau karena langsung dibeli dari petani.


48 Jam yang Berharga

Dalam perjalanan pulang ke rumah, saya menyadari bahwa kemah satu malam di Sembalun kali ini telah menjadi salah satu momen liburan keluarga favorit saya. Alasannya sederhana, kami betul-betul menikmati waktu yang berkualitas. Tanpa berusaha keras, kami berhasil mengembalikan fungsi telepon pintar sebagaimana mestinya, yaitu hanya untuk membantu aktivitas. Seperti memberikan navigasi ke tempat tujuan, menelepon, mengambil gambar dll, bukannya menjauhkan jarak.

Selain itu, alam yang indah, cuaca yang baik, orang-orang yang ramah, tempat wisata yang sedang sepi, dan keberuntungan demi keberuntungan yang kami dapatkan, sangat mendukung momen liburan kali ini.

Apalagi yang bisa saya ceritakan, selain mengatakan, bahwa 48 jam bersama keluarga kali ini terasa sangat berharga.

You Might Also Like

0 comments

MY SCIENCE EDUCATION WEBSITE

A Member of

A Member of

Komunitas