Memimpikan Mama

Tuesday, February 20, 2018



Sejak mama meninggalkan dunia, saya sudah tiga kali memimpikannya.

Pertama, menjelang pernikahan papa dengan istri keduanya.

Bagaikan setting sebuah pentas, saat itu saya melihat mama tengah asyik berdandan di depan sebuah meja vanity yang besar. Di depannya terdapat deretan alat rias seperti lipstik, alas bedak, kuteks dll. Sebuah pemandangan yang tidak pernah saya jumpai di dunia nyata. Ya, aslinya meja rias mama selalu kosong melompong. Ia tak pandai bersolek.

Dandanan mama sudah nyaris sempurna saat tiba-tiba saya datang menemuinya. Saat itu mama mulai memoleskan blush on di tulang pipinya. Dari belakang, saya melihat pantulan wajah mama di cermin. Cantik sekali. Ia mengenakan gamis berwarna pink, dengan taburan swarovzki imitasi, tapi tetap tampak elegan. Dipadukan dengan jilbab senada berwarna merah muda. Menambah keanggunan mama kala itu.

Saya betul-betul terpana, hanya bisa terdiam memperhatikan setiap keindahannya. Hati saya bahagia sekali kala itu. Sudah lama saya tidak melihat wajah mama bersinar dan segar seperti ini. Tidak lagi kuyu dan lemas. Di lengan mama sudah tak ada selang infus, tak ada pula alat cuci darah terpasang di tubuhnya.

Namun wajah berseri itu seketika lenyap ketika mama sadar dengan kehadiran saya. Ia berhenti bersolek. Kuas yang terselip di jarinya diletakkan di atas meja begitu saja.

Sambil menatap saya melalui cermin, ia membuka suara.

“Kenapa uni setuju?” Tanyanya.

Saya tertunduk dan diam. Berusaha mencerna maksudnya.

“Kenapa uni setuju papa nikah lagi?”  Tanyanya kembali, sambil melengkapi pertanyaannya. Kali ini ia membalikkan badan, bangkit dari tempat duduknya. Matanya tajam tertuju ke saya.

Saya hanya bisa berkata “maaf.. maaf.. dan maaf”.

Saya tau mama tidak marah. Itu hanya gertakan atas rasa frustasinya yang meluap.

Kami pun berpelukan, menangis di dalam Mimpi. Menuangkan kegelisahan kami. Tiba-tiba pikiran dan hati mama seolah terbang ke jiwa saya. Saya bisa merasakan kesedihannya, kecemburuannya, penolakannya, tapi juga ketakberdayaannya dan keikhlasannya.

Kami berpagut erat penuh kasih sayang, lamaaa sekali. Sampai akhirnya saya terbangun di pagi hari.

***

Hari itu saya terlelap seperti biasanya, tanpa tau kalau akan berjuang begitu keras di alam bawah sadar nanti.

Jika pertemuan pertama dengan mama tidak disengaja. Kali ini saya harus berusaha menemuinya di dalam mimpi.

Dunia mimpi adalah dunia imajinasi. Malam di dunia nyata, ternyata masih sore disini. Senja itu, saya mendengar kabar bahwa mama akan datang dari tempat yang jauh. Saya yang sedang dilanda rindu, ingin sekali bertemu.

Namun saya sungguh tidak beruntung. Di tempat saya berdiri tidak ada satupun moda transportasi yang terlihat. Jalanan kosong, sepi, sunyi. Saya hanya sendiri di tempat gelap ini.

Saya tidak tau bagaimana caranya agar bisa bertemu mama. Bahkan saya tidak tau ia berada dimana sekarang. Sialnya, di dalam mimpi, saya tak punya sepeser pun uang maupun telepon genggam.

Ditengah kepanikan, saya seperti tersadarkan. Bukankah mama sudah meninggal? Ia sudah tidak ada di dunia. Bagaimana mungkin saya bisa bertemu dengannya?

Sejurus kemudian, saya mengalami lucid dream. Saya yakin jika sedang bermimpi. Lalu tiba-tiba saya merasa memiliki kekuatan untuk mengontrol peristiwa di mimpi saya tersebut. Saya seolah dapat menulis skenario baru tentang apa yang akan terjadi selanjutnya.

Tidak terima dengan jalan cerita sebelumnya, dimana saya terdampar di antah berantah, saya pun kini menghadirkan sebuah kendaraan beroda dua lengkap dengan supirnya. Agak lucu sebenarnya. Kali ini mimpi saya agak logis. Di dunia nyata, saya memang tidak bisa mengemudi. Saya meminta Pak supir agar segera mengantarkan saya.

“Jangan tanya kita kemana, saya cuma mau ketemu mama”. Kata saya ke Pak supir.

Supir motor itu seolah mengerti. Ia tetap memacu kendaraan tanpa menganggap saya orang sinting. Kami menelusuri setiap sudut kota mimpi saya layaknya tim SAR yang mencari korban hilang.

Hari semakin larut. Mama belum juga ketemu. Hati saya runtuh. Saya berharap dunia mimpi saya tidak terlalu besar, sehingga bisa bertemu mama dalam waktu dekat. Saya rindu sekali dengannya. Rindu yang membuncah. Yang hanya bisa dimengerti oleh orang-orang yang menyesal. Ya, saya berharap bisa memberikan mama lebih banyak kebahagiaan semasa hidupnya.

Tiba-tiba saya merasa bahwa mama akan segera menghilang. Langit dan alam seolah memberi isyarat kalau waktu kunjungan mama sudah habis di kota mimpi ini.

Saya hampir putus asa. Berkali-kali saya mengatakan, “ini cuma mimpi” ke diri saya. Tapi seperti ada tenaga lain yang mendorong saya untuk tetap bertemu mama, untuk memeluknya, walau cuma di alam imajinasi.

Di tengah rasa frustasi, saya melihat tubuh mama di bawah lampu jalanan dan temaram. Menggunakan celana jeans biru, baju dan jilbab merah muda, serta syal melilit di lehernya. Malam itu memang agak dingin. Angin perlahan datang kembali.

Mama menunggu saya dengan wajah damai, seolah tak ada apa-apa. Ia tak tahu seberapa gundahnya saya. Barusan saya bertingkah seperti seorang ibu yang kehilangan jejak anaknya di keramaian.

Saya segera berlari ke arah mama. Menangis bahagia hingga sesegukan. Saya memeluknya, meluapkan rindu yang membuat saya sesak. Tidak pernah saya merindukannya sedalam ini.

Dan lagi-lagi, adegan berpelukan dengan mama membangunkan saya di pagi hari.

***

Dunia mimpi lagi-lagi menjadi gerbang yang mempertemukan saya dengan almarhum mama. Kali ini, saya mengunjungi mama yang hidup sendiri. Seolah menjadi simbol bahwa di alam lain sana, mama memang tinggal seorang diri dalam sunyi. Bedanya, di mimpi saya, mama menempati rumah yang sangat besar, bukan liang lahat yang sempit.

Walaupun rumahnya luas, tapi kondisinya tidak terlalu baik. Ada bocor disana sini. Tetesannya dibiarkan saja jatuh ke lantai, tidak ditampung dengan ember.

“Waktu musim kemarau kemarin, belum ketahuan kalau akan bocor seperti ini” katanya.

Rumah mama ini, baru ia tempati beberapa bulan. Saya orang pertama yang mengunjungi rumah barunya. Saya sedih, tapi mama seolah santai saja dengan kondisinya. Ia tidak memandang itu sebagai masalah besar.

Tak lama kemudian, mama mengajak saya ke kebun belakang. Halamannya luas. Masih banyak pepohonan rimbun. Namun di salah satu bagian lahan tersebut, ada tanah yang anjlok cukup dalam akibat longsor.

Di tanah tersebut, tiba-tiba berlari seekor tikus yang sangat besar. Lebih besar dari kucing. Entah dari mana asalnya, ia datang begitu saja. Membuat saya kaget.

Adegan selanjutnya tidak diduga. Mama turun menyusuri tanah anjlok tersebut, bertelanjang kaki. Lalu dengan mudah menangkap si tikus besar. Tubuh mama terlihat sangat sehat menuruni kemudian mendaki kembali tanah tersebut. Bagi saya, tingkah laku mama jauh lebih mengejutkan dari si tikus jumbo tadi.

Hari ini, mama memang sangat mengagetkan. Mulai dari kecuekannya dengan atap yang bocor, keberaniannya turun ke tanah yang anjlok, kelihaiannya menangkap tikus. Semuanya merupakan kebalikan dari sikap mama semasa hidupnya.

Pemandangan yang saya lihat terasa sangat vivid, seolah bukan mimpi. Selepas menangkap tikus, mama membersihkan dirinya dari tanah. Ia tenang sekali… betul-betul tenang, seolah ia menikmati kehidupan sederhana di rumah barunya, biarpun belum sempurna.

Saya merasa rindu sekali, sekaligus bangga dengan apa yang saya lihat hari ini. Seperti biasa, saya memeluk mama, menikmati hangatnya yang pasti cuma sekejap, karena saya akan terbangun lagi.

Sebelum betul-betul berpisah, saya berbisik kepada mama, “uni akan berusaha lebih giat lagi, supaya rumah mama jadi lebih cantik”. Mama tersenyum mendengarnya.

Dan saya pun terbangun di pagi hari.

***

Semoga Allah selalu melimpahkan kasih sayang kepada mama, menerima amal ibadah mama, mengampuni semua dosa dan menjauhkan mama dari siksa kubur dan api neraka.

Semoga kelak kita bertemu kembali di surga-Nya ya, ma.

Al-Fatihah.

You Might Also Like

2 comments

MY SCIENCE EDUCATION WEBSITE

A Member of

A Member of

Komunitas