Desa Sasak Sade, Lombok - Cuma Tourist Scam?

Thursday, January 25, 2018



Ada dua kriteria destinasi wisata yang bikin saya naik darah. Pertama, tempat wisata yang banyak sampah. Kedua, yang banyak tourist trap alias jebakan batman.

Desa Sade yang terletak di Kabupaten Lombok Tengah, awalnya masuk ke daftar tempat wisata yang saya hindari karena salah satu alasan di atas. Coba deh intip review di TripAdvisor. Ulasannya cukup kontras. Ada yang suka banget, tapi ada juga pengunjung yang kecewa karena ngerasa ditipu pas lagi berkunjung ke desa penenun ini. Parahnya lagi, yang kecewa ini biasanya turis asing. Sebagai tuan rumah, rasanya saya mau tutup muka aja pakai bantal. Malu sama mereka.

Biarpun nggak tertarik untuk kesini, ternyata berkunjung ke Desa Sade tidak bisa saya hindari. Beberapa waktu yang lalu, saya sekeluarga datang juga kemari. Tujuan utamanya bukan untuk berwisata, tapi untuk menemani tamu kami, seorang teman dari Jakarta yang lagi plesiran ke Pulau Lombok.

***

Desa Sade sangat mudah ditemukan. Ikuti saja jalan utama yang menuju ke Pantai Kuta, kita sudah bisa tiba disana. Lokasinya persis di samping jalan raya. Jadi, pengunjung tidak perlu bersusah-susah tracking menembus hutan seperti ketika akan pergi bertemu dengan orang Baduy Dalam di Banten.

Jika bertolak dari Mataram, perjalanan ke desa adat ini akan memakan waktu sekitar 1,5 jam. Tapi berhubung kami tinggal di Praya, dalam masa 30 menit kami sudah sampai. Dari luar, desa Sade terlihat agak artificial. Lebih mirip seperti kampung buatan yang ramai dengan pengunjung. Apalagi di hari-hari tertentu, desa ini bahkan bisa kedatangan tamu rombongan yang menggunakan bus.


Jujur, impresi awal saya kurang baik. Sangat berbeda dibandingkan ketika pergi ke Baduy dulu. Disana, saya merasa seperti dibawa masuk ke dunia lain. Tidak ada pengunjung lain selain saya dan beberapa teman seperjalanan. Pengalaman yang saya dapat juga begitu otentik. Masih teringat perasaan yang timbul ketika lelah menyusuri hutan ber jam-jam, lalu tiba-tiba disambut oleh jembatan bambu di atas sungai yang membantu saya menyeberang ke desa adat Baduy Dalam. Tepat diseberang sungai, rumah adat Baduy berjajar rapi seolah memanggil-manggil kami. Kawasannya begitu bersih, airnya bening, pohon-pohonnya rindang. Kalau di rangkum dalam satu kata, desa Baduy memberikan kesan magical.

Tanpa saya sadari, saya terus membandingkan keduanya. I can't help but keep comparing those two in my head.

***

Baru saja keluar dari mobil, kami sudah dihampiri oleh seorang lelaki dengan pakaian tradisional. Dia memperkenalkan diri. Kalau saya tidak salah dengar, Katrek namanya. Yang jelas, nama yang keluar dari mulutnya bukan nama pasaran dan terdengar unik. Lelaki asli Desa Sade inilah yang akan bertugas sebagai tour guide kami hari ini.

Oh iya, saya ingat pernah membaca informasi tentang tour guide ini di internet . Aturan mainnya, setiap turis yang datang ke Desa Sade harus didampingi oleh seorang pemandu wisata. Bayarnya seikhlasnya saja, katanya. Ternyata akurat dengan kenyataan yang saya temui di lapangan. Lalu bagaimana dengan tipu-menipu nya? Apakah kami akan mengalaminya juga?

***

Katrek mempersilakan rombongan kecil kami untuk masuk ke dalam desanya. Ternyata kondisinya berbeda dibanding jika hanya melihat desa ini dari tepi jalan. Di dalam sini, suasananya lebih menarik. Dari gerbang utama, kami langsung disambut oleh alun-alun yang disekitarnya terdapat beberapa berugak (sejenis pendopo dengan arsitektur khas Sasak). Kawasan ini merupakan area komunal desa Sade. Tempat warga berkumpul untuk bermusyawarah atau menjalankan aktivitas lainnya.

Sebelum mengeksplorasi desa, kami diajak untuk duduk di berugak terlebih dahulu. Di bawah teduhnya berugak, Katrek mulai berkisah tentang adat istiadat serta fakta-fakta menarik tentang suku Sasak dan tentang desanya. Sejujurnya saya tersihir mendengar cerita Katrek. Lupa dengan segala kesuudzonan dan pikiran-pikiran buruk tentang desa ini.

Katrek, pemandu yang sopan dan ramah ini bercerita bahwa desa Sade telah berumur ratusan tahun. Awalnya penduduk Sasak Sade menganut animisme, namun kini sudah memeluk Islam. Di desa yang terdiri dari 150 rumah ini bahkan sudah didirikan masjid dengan atap alang-alang kering tanpa kubah. Arsitekturnya begitu menyatu dengan bale, rumah adat mereka.

Bermain di antara atap ilalang :)

Dari berugak, kami kini diajak menyusuri komplek desa lebih dalam lagi untuk melihat bale. Berbeda dari kesan awal saya, di dalam sini keaslian Desa Sade masih sangat terasa. Bentuk rumah masih sangat orisinal. Dengan atap alang-alang dan lantai dari tanah liat. Cara membersihkan lantai pun sangat unik, yaitu di pel dengan kotoran sapi. Tentu bukan kotoran sembarangan, harus yang fresh alias baru keluar agar tidak berbau. Kotoran tersebut kemudian dicampur dengan sedikit air. Aneh memang, tapi cara ini efektif untuk mengusir nyamuk, menghindari rumah dari debu dan membantu mencegah keretakan di lantai rumah.

Saya membuktikan sendiri kebenarannya ketika memasuki salah satu bale. Betul-betul tidak busuk sama sekali! Padahal, bekas pel-an kotoran kerbau yang mengering berwarna kehijauan itu terlihat jelas sekali di atas lantai.

Sambil tour keliling rumah, Katrek bercerita bahwa bale, selain sebagai rumah tinggal, juga merupakan satu-satunya tempat kencan warga desa Sade. Biarpun tinggal di dekat pantai yang terkenal indah, pemuda Sasak desa Sade tidak boleh kencan di luar rumah.

Uniknya, mereka  memiliki  tradisi lain yang sekilas terlihat kontradiktif dengan aturan kencan tersebut, yaitu tradisi “menculik” calon pengantin wanita. Tidak seperti di budaya lain yang menganggap menculik sebagai kegiatan melanggar hukum, dalam tradisi Sasak, “menculik” adalah tanda keseriusan seorang lelaki untuk menikahi wanita yang dicintainya. Setelah diculik, wanita akan dibawa ke rumah keluarga lelaki. Kemudian keluarga lelaki akan memberitahu keluarga wanita bahwa mereka ingin meminang anak perempuannya.

Cerita Katrek mengingatkan saya akan sebuah headline koran di negeri jiran tentang lelaki Lombok. Saat saya masih tinggal di Malaysia (dari tahun 2008-2013) saya sempat dibuat pusing dengan pertanyaan warga lokal tentang tingkah laku pria Lombok ini. Masyarakat Malaysia pernah heboh karena ada sejumlah tenaga kerja laki-laki asal Lombok yang “menculik” anak gadis di negaranya. Hal ini menimbukan kesalahpahaman besar dan menjadi trending topic. Tidak sedikit dari mereka yang menghembuskan isu kalau laki-laki Lombok tersebut menggunakan sihir. Yang berpikir lebih logis berpendapat, pria Lombok mungkin memiliki kepribadian yang lembut, penyayang dan pekerja keras, sehingga mudah memikat hati wanita.

Hari ini, di Desa Sade, pertanyaan tersebut terjawab setelah bertahun-tahun lamanya.

Tradisi Menenun

Desa Sade memang terkenal dengan adat dan tradisinya yang unik. Namun yang paling tersohor adalah tradisi menenunnya. Disini, kita dapat dengan mudah bertemu dengan wanita yang sedang tekun menenun atau sekedar memintal benang di teras rumah. Biasanya di depan rumah terdapat toko kecil tempat mereka memamerkan dan menjual hasil karyanya.

Hasil tenunan masyarakat Sasak di desa Sade

Pelajaran menenun ini telah diterima oleh  wanita Sasak Sade sejak usia sepuluh tahun. Jika nanti kelak akan menikah, mereka harus memiliki keterampilan ini. Selain untuk melestarikan adat dan melatih kesabaran pra-nikah, keahlian menenun juga bisa digunakan untuk membantu ekonomi keluarga. Wanita tetap bisa produktif secara finansial biarpun duduk di rumah. Begitu kira-kira masyarakat Sasak menilai pentingnya menenun ini.

Memintal benang dari kapas Dengan alat tradisional

Saya dan kawan-kawan pun berhenti sejenak di salah satu toko kain sambil mengapresiasi keindahan tenunan Lombok. Semua kain berwarna-warni yang ada di depan mata saya ternyata menggunakan pewarna dari alam. Hanya benang warna emas saja yang masih mereka beli dari luar karena terbatasnya sumber alam yang dapat menghasilkan warna emas tersebut.

Hari itu, ada hal lain yang lebih mencuri perhatian saya dibandingkan kain-kain tenun ini, yaitu si mbak penjual kain. Si mbak merupakan wanita yang usianya lebih muda dari kami, tapi mengaku sudah punya anak karena telah menikah sejak berusia belasan tahun.

Bagi saya, si mbak ini lebih dari sekedar penjual kain. Bicaranya sopan, suaranya halus, ditambah lagi dia bertutur sambil tersenyum. Entah mbak ini dapat pelajaran dari mana. Yang jelas tutur katanya lebih ramah dan natural dibandingkan customer service di bank tempat saya bekerja dulu, yang telah mendapat training secara profesional.

“Silakan ditawar saja harga kainnya. Tidak apa-apa. Saya tidak akan tersinggung. Tawar menawar sudah menjadi budaya kami”.

Konsumen mana yang tidak meleleh jika dilayani dengan baik? Dengan service seperti ini, si mbak akhirnya berhasil menjual beberapa helai kain kepada kami,  dengan harga terbaik.

Moment of Truth

Tidak seperti review di TripAdvisor, ternyata kami mendapatkan pengalaman yang sangat positif selama di Desa Sade. Entah kami sedang beruntung karena mendapatkan guide yang baik, atau memang seperti itulah standard kunjungan ke Desa Sade.

Tidak ada paksaan untuk membeli kain apalagi penipuan (menawarkannya masih normal). Kami dilayani oleh orang-orang yang ramah, sopan dan sangat bersemangat untuk berbagi budaya serta adat istiadatnya kepada wisatawan. Yang paling saya sukai, disini kita bisa berbaur langsung dengan warga setempat dan melihat keseharian mereka.

Melihat keseharian warga

Pinjam kuda-kudaan milik anak warga :)

Sampai di rumah, saya membaca kembali ulasan di TripAdvisor dan mencoba mencari tau, dimana salahnya? Sebagian turis internasional mengatakan kalau tempat ini adalah tourist trap, nothing about culture, just about ripping-off tourists, dll. Ada juga yang mengatakan kalau mereka cuma dapat tour sekitar 15 menit, lalu sisanya fokus ke jualan kain. Sedangkan rombongan saya mendapat tour yang panjang, sampai puas bertanya segala hal ke pemandu wisata.

Apa mungkin turis internasional memang mendapatkan perlakuan yang berbeda? Ataukah ini hanya kendala bahasa dan perbedaan budaya yang menimbulkan kesalahpahaman?

Saya yang baru kesana dan mendapatkan kesan baik, jadi merasa prihatin. Tempat dengan potensi sebesar ini ternyata malah meninggalkan kesan buruk. Dan saya salah satu orang yang sempat percaya dengan review jelek di internet, but I'm glad I went and proof it myself.

Pada akhirnya, saya tetap merekomendasikan Desa Sade ke siapapun yang ingin mendapatkan pengalaman budaya yang otentik di Lombok. Kita akan pulang dengan segudang wawasan, bukan hanya membawa foto selfie saja. Saya nggak bisa jamin sih, but I wish you’ll get the best experience as I did :)

***

Note: biarpun sama-sama desa penenun dan lokasinya berdekatan, Desa Sade berbeda dengan Desa Ende (kadang orang tertukar). Ada yang bilang, Desa Ende merupakan desa buatan pemerintah. Jumlah rumahnya jauh lebih sedikit, hanya tiga puluh buah. Travel agent lebih suka membawa tamu ke Desa Ende karena akan mendapatkan komisi. Entah betul atau tidak. Saya sendiri belum pernah kesana, jadi tidak bisa memberikan perbandingan tentang kualitas kunjungan.

You Might Also Like

4 comments

  1. Menarik mbak
    Saya selalu suka jalan-jalan menikmati suasana asli pedesaan dengan kekhasannya masing-masing tentu saja

    Jadi penasaran sama Desa Sade
    Membayangkan rumah2 tradisional yang unik itu dan kehidupan didalamnya
    Aaaaah.... semoga suatu hari diberi kesempatan berkunjung ke sana

    ReplyDelete
    Replies
    1. Mbak.. aku baca blog mu.. keren ih pemaparan ttg jalan2nya (tapi maafkan belum sempat meninggalkan komen). Aku hrs byk bljr nih dari mbak nih gmn caranya bikin catatan perjalanan yang oke. Btw, terima kasih sudah mampir ke blog ku ❤

      Delete
  2. Fotonya keren mbak. Tapi saya pribadi mungkin ga suka kalau diajak kesana hehe.

    ReplyDelete
  3. Terima kasih sudah mampir.. hihi. Mbak Dian memang sukanya wisata apa? Kuliner, shopping, atau wisata Alam? Bisa disesuaikan :)

    ReplyDelete

MY SCIENCE EDUCATION WEBSITE

A Member of

A Member of

Komunitas